Mediatani – Sebuah kawasan mangrove di Kabupaten Pinrang terancam habis karena dibabat untuk dialihfungsikan menjadi tambak. Pihak Pemerintah Kabupaten Pinrang mengakui bahwa praktik itu sudah berlangsung lama dan tidak bisa berbuat apa-apa karena wewenang pengelolaan pesisir ada di Pemerintah Provinsi.
Aksi pembabatan mangrove ini menuai protes dari para pegiat mangrove, mereka geram mengingat lokasi tersebut telah ditanami mangrove sebanyak 29.300 pohon. Mangrove itu ditanam sejak 4 Agustus 2019 – 26 Juli 2021 dengan tingkat survival rate atau daya hidup sampai 70-80%.
Dilansir dari Mongabay, aktivis lingkungan Idham Malik mengatakan, isu pengalihan fungsi mangrove ini kembali mengemuka pada bulan Mei 2021, ketika sejumlah pegiat mangrove di Kecamatan Duampanua melakukan pengisian polybag untuk pembibitan mangrove.
Ditengah-tengah kesibukan pengisian polybag tersebut, datanglah seorang warga bernama Bidin. Ia mengklaim bahwa kawasan miliknya yang akan dijadikan tambak, dan meminta aktivitas penanaman mangrove ditunda saja.
Namun, beberapa hari setelahnya Bidin akhirnya memberikan izin penanaman setelah para pegiat mangrove ini kembali mendatanginya dan menjelaskan pentingnya mangrove dalam menjaga lingkungan sekitar.
Pada 21 Juni 2021, di lahan seluas sekitar 6-7 Ha, Bidin mambangun tambak perdana di sekitar pesisir pantai dan bantaran sungai. Meski idealnya jarak pembangunan tambak dilakukan minimal 100 meter dari pasang tertinggi, namun tambak ini dibangun berbatasan langsung dengan pantai.
Hingga pada 26 Juli 2021, puluhan komunitas turun melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove di Dusun Tanroe. Namun, mereka harus berhadapan dengan unit ekskavator yang sedang melakukan pembuatan 2 buah tambak di sekitar kawasan rehabilitasi mangrove tersebut.
Hasil survei terakhir yang dilakukan WWF pada 7 Agustus 2021 lalu, telah terbentuk enam buah tambak baru yang dibuat di kawasan bantaran sungai dan pesisir pantai.
Tambak tersebut memiliki pematang selebar 2-3 meter dengan panjang pematang sekitar 15 meter yang tertimbun. Selain itu, terdapat puluhan mangrove yang telah dicabut menggunakan ekskavator.
Mereka menebang mangrove yang sudah lama tumbuh di area tersebut dengan mangrove alami yang tumbuh tersebar kira-kira baru sekitar 3-4 tahun. Luas mangrove yang dikonversinya menjadi tambak yaitu 1,8 hektar.
Sejumlah warga juga menolak alih fungsi tersebut dengan sejumlah alasan, diantaranya karena kawasan yang dialihfungsikan merupakan jalur keluar masuk kapal nelayan, kawasan rehabilitasi dan ekosistem mangrove dengan jenis Api-api (Avicennia sp). Hutan mangrove hasil ini juga hasil kegiatan penanaman komunitas maupun instansi pemerintahan.
Idham mengatakan penolakan dilakukan oleh warga setempat karena luasan tambak yang dibangun tidak sesuai dengan kepemilikannya. Selain itu, tambak ini menghalangi jalur kapal dan merusak ekosistem yang sangat besar dampaknya pada pemukiman setempat.
Dampak akibat pembabatan mangrove
Apabila daerah pesisir kehilangan ekosistem mangrove, maka akan rawan terjadi bencana yang disebabkan oleh abrasi pantai. Tanaman atau pohon mangrove ini berfungsi sebagai penghalang (barrier) dari hantaman ombak atau arus kencang.
Keberadaan ekosistem mangrove ini juga memiliki peran ekologis dan strategis yang sangat besar bagi mahluk hidup. Tidak sedikit juga menjadikan tanaman bakau ini sebagai tempat berlabuhnya kapal kecil bagi nelayan.
Namun, para pelaku perusakan mangrove demi tambak ini yang awalnya berpikir untuk memperoleh ekonomi dalam waktu singkat dengan adanya tambak tersebut.
Mereka tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan ke depan, seperti bencana karena kerusakan mangrove dan ketidakseimbangan alam.
Siapa yang berwenang menghentikan?
Sebelumnya pegiat mangrove bertemu dan konsultasi dengan pemerintah setempat. Mereka melakukan pertemuan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pinrang dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sawitto di Hotel MS Pinrang pada 23 juni 2021.
Idham mengungkapkan, jawaban yang dilontarkan dalam pertemuan tersebut lebih mengarah melempar tanggung jawab. Padahal, menurutnya, persoalan pesisir bukan sekedar soal kewenangan.
Apalagi jika sudah terjadi perusakan yang berpotensi merugikan publik, maka pihak kabupaten harus mengambil alih,” tambahnya.
Pada 24 Agustus 2021, dilakukan diskusi atau Brainstorming yang membahas kembali Kasus Penebangan Mangrove di Tanroe, Kabupaten Pinrang.
Pada kesempatan itu, Kepala Bidang Pengelolaan dan Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Selatan H. Suhartono Nurdin mengatakan berdasarkan titik koordinat lokasi, penebangan mangrove memang berada dalam kewenangan provinsi, dan merupakan zona mangrove, dan zona penangkapan ikan.
“Berarti, badan sungai yang dijadikan tambak itu telah melanggar, karena menjebak zona penangkapan ikan. Area yang merupakan zona budidaya dan telah memperoleh alas hak itu tak lain adalah zona mangrove menurut peta RZPWP3K,” ujar Suhartono.
Dalam PERDA 2/2019 tentang RZWP3K, dijelaskan ketentuan pernyataan pemanfaatan zona hutan mangrove: terdapat ayat pada pasal 45, yang melarang merusak dan menghilangkan fungsi hutan mangrove dan ekosistem perairan.
Ia mengakui masih terdapat kelemahan di pihak pemerintah, karena aturan-aturan seperti ini kadang belum diketahui oleh masyarakat setempat, ataupun mungkin pejabat pemerintahan setempat. Sebab, cukup banyak kasus jika penyerobotan lahan justru dilakoni oleh aparat atau mantan pejabat wilayah setempat.
Keterangan Suhartono ini pun menjadi alas hukum yang jelas untuk menindak ataupun mencari titik tengah solusi. Sebab, sudah begitu banyak kasus-kasus seperti ini yang belum mendapat perhatian.