Mediatani – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengungkapkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengimplementasikan sistem perizinan impor otomatis atau automatic import licensing import.
Hal ini, ditegaskan dalam rangka untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri.
Selama ini keputusan-keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan, dikatakan, selalu diputuskan lewat rapat koordinasi terbatas antar kementerian dan juga berbagai persyaratan yang menghabiskan waktu.
“Sistem perizinan impor otomatis dapat mempersingkat proses tadi menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih sehat dan kompetitif,” ucap Kepala Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta lewat keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (31/3/2021), melansir Kamis (1/4/2021) dari situs akurat.co.
Impor pangan Indonesia dikontrol oleh pemerintah melalui Quantitative Restrictions (QR), yang disebut juga kuota impor.
Kuota impor Indonesia dikelola melalui sistem perizinan impor non-otomatis yang mana Kementerian Perdagangan memberikan izin impor dan kuota impor kepada importir terdaftar.
Perolehan izin tersebut pun bergantung pada surat rekomendasi dari Menteri Pertanian dan keputusan yang diambil dalam rapat koordinasi terbatas yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.
Keputusan impor itu diambil setelah mempertimbangkan data produksi, stok, dan konsumsi nasional.
Bulog, misalnya yang memiliki monopoli atas impor beras medium untuk konsumsi umum, baru dapat mengimpor setelah mendapat persetujuan dan kuota dari Kementerian Perdagangan.
Hal ini juga diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01 Tahun 2018.
Menurut Felippa sederet regulasi itu, membuat impor pangan kerap kali kehilangan momentum yang tepat, yaitu saat harga di pasar internasional sedang murah.
Sederet regulasi ini juga, lanjut dia, tidak cukup cepat merespon adanya kenaikan harga di pasar.
Akhirnya saat komoditas yang diimpor memasuki pasar Indonesia, keberadaannya tidak cukup sukses untuk menstabilkan harga di pasar yang sudah terlanjur tinggi.
Tingginya harga pangan akan memengaruhi konsumsi masyarakat.
”Penerapan NTM pada perdagangan pangan berkontribusi pada tingginya harga komoditas pangan, terutama pada komoditas penting yang kenaikan harganya berdampak besar pada tingkat konsumsinya di masyarakat,” ucapnya.
“Hal ini akan memengaruhi konsumsi, terutama konsumsi keluarga yang di bawah garis kemiskinan. Mereka akan cenderung memilih komoditas pangan yang lebih murah yang biasanya memiliki kandungan gizi lebih sedikit”
“Di masa depan, hal ini dapat meluas ke persoalan lain yaitu soal malnutrisi. Sistem perizinan impor non-otomatis menyebabkan keluarnya izin impor menjadi tertunda, menyebabkan kekurangan pasokan dan berkontribusi pada kenaikan harga,” jelas Felippa, menekankan.
Sistem perizinan impor otomatis memberikan kesempatan kepada semua importir terdaftar untuk mengimpor.
Penggunaan sistem ini mengurangi berbagai penundaan akibat proses birokrasi dan menghilangkan peluang korupsi.
Automatic import licensing system disebutnya tidak menghapus persyaratan SPS yang diperlukan yang menjamin kualitas dan keamanan pangan atau NTM teknis yang menjamin standar.
“Yang akan dilakukan adalah memfasilitasi proses impor dengan mengizinkan importir untuk mengimpor kapan saja tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah,” ungkapnya.
Meski pun demikian, penggunaan sistem ini bukan berarti produk impor akan segera membanjiri pasar domestik dan sepenuhnya menggantikan produksi pertanian dalam negeri.
Sistem perizinan impor otomatis diharapkan dapat membuat produsen yang kurang efisien untuk meningkatkan produktivitasnya.
Hal itu juga diharapkan agar sektor pertanian tidak merugi.
Kebijakan perdagangan harus dibarengi dengan kebijakan pertanian yang inovatif untuk meningkatkan daya saing produsen dalam negeri.
Faktor domestik yang menyebabkan harga tinggi harus diatasi melalui kebijakan seperti peningkatan penelitian dan pengembangan, akses ke input yang lebih murah, dan perbaikan infrastruktur.
Upaya ini telah dilakukan selama bertahun-tahun tetapi gagal mencapai efektivitas yang diperlukan karena tidak adanya kekuatan kompetitif dari produsen asing.
Penghapusan NTM pada pangan dan pertanian menunjukkan potensi besar untuk pengentasan kemiskinan, namun harus dilengkapi dengan kebijakan lain untuk memperkuat produksi pertanian dalam negeri dan meningkatkan daya saing dalam perdagangan pangan.
Penelitian lebih lanjut tentang rekomendasi kebijakan khusus untuk mengakses manfaat perdagangan ini harus dipertimbangkan. (*)