Mediatani – Di tengah kebutuhan pangan yang terus meningkat dan tantangan dalam penyediaannya yang semakin banyak, mengadopsi penerapan kebijakan intensifikasi pertanian yang berpusat pada prinsip keberlanjutan menjadi semakin mendesak.
“Kebijakan intensifikasi yang fokus pada prinsip keberlanjutan perlu segera diadopsi secara menyeluruh untuk mendukung daya dukung sektor ini pada kebutuhan pangan,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir, dilansir dari Republika, Rabu (18/1/2023).
Faisol melanjutkan, salah satu penyebab mendesaknya kebijakan intensifikasi pertanian adalah krisis iklim global yang berdampak pada produktivitas pertanian. Krisis iklim yang salah satunya berdampak pada ketidakpastian cuaca menghadirkan tantangan dan ancaman terhadap produktivitas pertanian di Indonesia dan belahan dunia lainnya.
Implementasi kebijakan intensifikasi pertanian sangat baik untuk kondisi Indonesia saat ini, karena kebijakan ini memanfaatkan lahan yang ada dengan menggunakan benih yang lebih baik, memperbaiki kualitas dan nutrisi tanah, menggunakan pupuk yang tepat dan juga memperkenalkan teknologi pertanian.
Peningkatan kesadaran petani akan perlunya mengadaptasi model pertanian terhadap perubahan iklim juga harus dilakukan. Misalnya melalui penyuluhan dan pemberian pengetahuan dalam bentuk kerjasama investasi pertanian.
“Perluasan area tanam tidak menjamin peningkatan produktivitas pangan. Sebaliknya, hal ini berbahaya untuk lingkungan dan merugikan masyarakat,” ujarnya.
Pembukaan lahan yang seringkali menyasar hutan, padang rumput dan lahan gambut justru menambah masalah krisis iklim global. Deforestasi juga mengancam kelestarian aspek sosial dan ekonomi masyarakat serta mengganggu keanekaragaman hayati yang juga penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Komitmen pemerintah untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian dan ketahanan pangan Indonesia serta menerapkan pertanian berkelanjutan harus dilaksanakan dengan aksi nyata dan dilaksanakan dengan strategi yang lebih luas.
Namun, Faisol mengingatkan bahwa Intensifikasi pertanian dengan menggunakan peralatan pertanian yang modern dan berkualitas membutuhkan investasi yang besar. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah juga fokus menjaga iklim investasi di sektor pertanian.
Selain itu, akses dalam ketersediaan pupuk yang bermutu dan murah harus dijamin, karena ketersediaan yang tidak menentu dan harga pupuk yang mahal dapat mendorong penggunaan pupuk yang dosisnya tidak tepat. Harga pupuk bisa lebih tinggi karena krisis energi yang sedang berlangsung.
Selisih harga pupuk bersubsidi dan nonsubsidi harus dikurangi agar tidak menimbulkan potensi pasar gelap yang dapat merugikan petani dalam menjangkau pupuk yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Pihaknya juga menyayangkan pemerintah saat ini justru menggunakan kebijakan ekstensifikasi pertanian untuk mengatasi tantangan ketersediaan pangan, seperti melalui program Food Estate.
Alih-alih menjadi solusi pertanian, pembukaan lahan justru bertetangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan memperburuk kondisi iklim global.
“Kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi sama-sama punya tujuan untuk meningkatkan produksi. Tetapi mempertimbangkan berbagai tantangan sektor pertanian, pembukaan lahan secara paksa dan besar-besaran malah berbahaya untuk sektor pertanian dalam jangka panjang,” tegasnya.