Mediatani – Pengusaha tambak udang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel), membantah tudingan yang menyebut tambak miliknya menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan.
Dilansir dari Tribuntimur Makassar, hal tersebut dibahas dalam Rapat dengar pendapat (RDP) yang diselenggarakan Komisi B DPRD Bulukumba dengan agenda pengelolaan tambak insentif yang diduga tidak memperhatikan dampak lingkungan.
Ketua Komisi B, Fahidin HDK, yang memimpin rapat tersebut mengaku telah banyak mendapat laporan dari warga terkait masalah tambak yang tidak memperhatikan pengelolaan limbah sehingga berdampak buruk pada lingkungan.
“Limbah-limbah perusahaan tambak udang itu dikeluhkan masyarakat, karena merusak rumput laut,” kata Fahidin HDK, Senin (22/2).
Terkait masalah limbah, Fahidin menegaskan, pihaknya masih memberikan kesempatan kepada perusahaan tersebut untuk melakukan perbaikan pengelolaan limbah. Namun jika hal tersebut tidak diupayakan, maka pihaknya bakal mengusulkan untuk melakukan pencabutan izin perusahaan.
“Kalau terus melanggar, kita akan rekomendasikan untuk cabut izinnya,” pungkasnya.
Selain mengimbau agar pemilik tambak bisa memperhatikan limbah perusahaan, Fahidin juga berharap pemilik tambak memperhatikan pemberian upah para pekerja tambak apakah sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) atau tidak.
Dia juga menyinggung tentang perusahaan-perusahaan tambak yang masih belum mengeluarkan Corporate Social Responsibility alias CSR-nya. Padahal, diketahui terdapat enam perusahaan besar dengan produksi yang mencapai 50 ribu ton dalam sekali panen di Bulukumba.
“Yang kita juga dorong adalah taat bayar CSR-nya, karena itu ada perda-nya. Selama ini tidak pernah melaporkan CSR-nya ke pemerintah,” ungkap Fahidin.
Sementara itu, politisi Partai Golkar, Asri Jaya juga meminta agar para pengelola tambak bisa memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas budidayanya. Menurutnya, saat ini banyak masyarakat yang mengeluhkan adanya zat kimia yang digunakan para penambak yang telah mengganggu pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan.
Asri berharap agar hal ini bisa menjadi perhatian dari pihak pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan tambak yang berpotensi mencemari lingkungan perairan.
Bantahan pihak petambak
Salah seorang dari pihak perusahaan tambak CV Dani Yuwono yang beralamat di Tanah Lemo, Adriyadi membantah tudingan bahwa perusaah tambaknya tidak memperhatikan masalah limbah. Menurutnya, pihaknya telah melakukan upaya yang sesuai dengan aturan pemerintah.
“Yang kami lakukan itu sudah sesuai atuarannya, jangan mengatakan limbah tersebut berasal dari tambak, kita kan belum melakukan kajian, nanti dilihat dari hasil kajiannya, apakah dari petani tambak atau bukan,” ungkap Adriyadi.
Adriyadi juga menuturkan bahwa bisa saja limbah tersebut bukan berasal dari perusahaan tambak udang melainkan dari aktivitas perekonomian lain yang ada di pinggir pantai, seperti somel karena terdapat industri kapal rakyat.
“Boleh jadi limbahnya yang turun ke laut dan meracuni laut,” ucapnya.
Ariyadi juga menegaskan bahwa perusahaan tambak itu telah melakukan pengelolaan air tambak udangnya dengan baik sesuai dengan aturan dari pemerintah, dimana setelah panen, limbah di buang ke tandom penampungan, sehingga kotoran tambak diendapkan terlebih dahulu.
“Nanti selanjutnya airnya keluar ke tandom selanjutnya disterilisasi lagi dengan ikan, di kasih di ikan lele atau ikan bandeng. Kalau betul-betul sudah tidak ada masalah baru di buang ke laut,” tambahnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa pihak perusahaan tambak udang selalu melakukan penelitian terhadap air tambak udang sebanyak dua kali dalam sebulan. Penelitian tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada limbah yang dapat mencemari lingkungan dan tidak ada masalah dengan perairan.
“Konyol itu kalau ada petambak, mau meracuni dia punya tambak sendiri, misalnya racun dia buang airnya ke laut kemudian dia sedot kembali airnya masuk, mati dong udangnya habis dong,” pungkasnya.