Mediatani – Beberapa waktu lalu, pemerintah meluncurkan program Kartu Tani agar penyaluran pupuk subsidi tepat sasaran. Kartu Tani ini juga bisa dipergunakan untuk mengajukan kredit usaha di lembaga perbankan dan keuangan, yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Syarat mendapatkan kartu tani yaitu petani harus tergabung dalam kelompok tani (poktan). Kegunaan kartu tani dapat dijadikan sebagai ATM dan berfungsi sebagai identitas profesi petani. Kegunaan lainnya yaitu dapat mempermudah pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap poktan.
Akan tetapi, sejak dicanangkan pada tahun 2019, program Kartu Tani ini mengalami berbagai kendala. Sebelumnya, kartu tersebut tidak tersebar sepenuhnya karena alasan adanya pandemi covid-19. Kali ini, sejumlah
petani dan pedagang pupuk mengeluh karena tempat pembelian pupuk bersubsidi sangat terbatas.
Di Kabupaten Majalengka, petani dan pedagang pupuk mengaku merasa kesulitan karena pembelian pupuk bersubsidi melalui Kartu Tani hanya berlaku di wilayah tempat tinggal petani atau di ladang yang mereka kelola.
Pedagang pupuk di Kelurahan Cicenang, Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka, Neneng mengatakan dengan diberlakukannya Kartu Tani, petani tidak bisa bebas membeli pupuk bersubsidi di semua kios resmi.
Pupuk yang bisa mereka beli adalah pupuk yang ada di wilayah mereka tinggal dan menggarap sawah. Padahal sebenarnya banyak petani yang menggarap lahannya di luar desa bahkan luar kecamatan.
Pedagang yang selama ini menjadi pelanggan petani juga kehilangan pembeli yang sudah lama menjadi langganannya. Dengan otomatis mesin EDC yang terdapat di kios akan menolak Kartu Tani yang tidak sesuai dengan wilayah petani tersebut.
“Sekarang ini petani tidak bisa sembarangan membeli pupuk dengan kartu taninya. Kemarin banyak yang melakukan praktek uji coba pemberlakuan Kartu Tani di kios saya, mereka ada yang berasal dari dari Tajur dan Majalengka. Ketika mencoba menggesek kartu di kios yang disiapkan oleh bank ternyata tidak terkoneksi karena pembelian pupuk harus di wilayah mereka tinggal,” ungkap Neneng yang masih memiliki stok urea kurang lebih 8 tonan.
Jika demikian menurutnya akan banyak petani yang kebingungan, yang biasanya membeli pupuk di kios langganannya, kedepan terpaksa harus pindah pembelian.
“Pedagang pupuk juga hanya bisa menyediakan pupuk sesuai jumlah areal yang ada,” ungkapnya.
Pedagang lainnya, Anah juga menyampaikan hal yang sama. Karena pembeli yang datang ke kiosnya selama ini berasal dari daerah pegunungan yang sekalian berbelanja ke pasar, maka kemungkinan besar pelanggannya itu tidak dapat bertransaksi lagi di kiosnya.
“Saya pikir asalkan pembelinya bukan berasal dari luar kabupaten masih bisa dibebaskan untuk dilayani. Namun nyatanya dengan pemberlakuan Kartu Tani ini katanya tidak bisa sembarangan membeli pupuk,” ujar Anah.
Sejumlah petani padi lainnya juga menyampaikan kekhawatiran yang sama. Mereka khawatir pembelian pupuk yang alokasinya terbatas. Karena dengan kartu tani pembelian pupuk sangat dibatasi sesuai luar areal lahan yang di garap.
Jika quota sudah habis maka petani tidak bisa lagi membeli pupuk subsidi melainkan harus membeli pupuk non subsidi yang harganya jauh lebih mahal selisih Rp 5.000 untuk setiap kilogramnya.
Seorang petani di Simpeureum mengungkapkan, dirinya akan mengalami kesulitan jika seumpama sawah yang ditanaminya rusak dan membuatnya harus menanam ulang, sedangkan jatah pupuknya telah habis oleh tanaman yang rusak itu.
“Nah karena jatahnya habis oleh tanaman yang rusak maka tanaman berikutnya petani terpaksa harus membeli pupuk non subsidi yang harganya Rp 7.000 per kg sementara pupuk subsidi kan hanya Rp 2.000 per kg. Makanya kalau dibatasi seperti ini akan merepotkan petani,” lanjut Enuy.
Karena kondisi tersebut pemerintah juga harus berupaya melakukan sosialsiasi kepada petani dan pemilik kios mengenai operasional Kartu Tani agar dipahami semua pihak.