PLTPB Sorik Marapi Kebocoran Gas, Warga: Kami Tak Bisa Bertani

  • Bagikan
Sumber foto: petrominer.com

Mediatani – Sebelum memulai kegiatan pembangunan, sebaiknya harus memperhatikan keadaan lingkungan. Bagaimana dampak yang ditimbulkan untuk lingkungan sekitar. Pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, ternyata lebih mengarah kepada merugikan karena tidak memperhatikan dampak lingkungan tersebut. Maka dari itu, sebelum membangun maka kita harus membuat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang merupakan suatu alat atau cara yang digunakan dalam pengendalian perubahan lingkungan. Secara tidak langsung AMDAL juga bisa berfungsi untuk menjaga manusia dari dampak buruk pengaruh dari pembangunan terutama bangunan pabrik.

Seperti yang terjadi di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Sorik Marapi mengalami kebocoran gas beracun pada Senin (25 Januari 2021) yang lalu. Saptar, salah satu warga Mandailing Natal mengatakan bahwa Area PLTPB tersebut sangat dekat dengan lokasi aktivitas pertanian warga, hanya pagar seng yang membatasi. Sehingga pada saat kejadian kebocoran gas beracun, diketahui ada lima orang warga Mandailing Natal meninggal dunia dan puluhan warga lainnya terluka akibat insiden tersebut. Selain itu, aktivitas warga pada daerah lahan pertaniannya terganggu hingga berdampak pada hasil produksi.

Diketahui, pihak pengelola dari PLTPB ini tak pernah sosialisasi kepada masyarakat tentang potensi bahaya aktivitas PLTPB itu. Ketika PLTPB itu dibangun, masyarakat hanya mendapat kabar dari mulut ke mulut. Para warga Mandailing Natal juga tak pernah mendapat sosialisasi terkait analisis dampak lingkungan (amdal) dari perusahaan bahkan hanya melalui pengeras suara. Sehingga jika ada kemungkinan bahaya yang mengancam dari kegiatan PLTPB ini, warga bisa mengantisipasi kemungkinan terburuknya.

Dilansir dari CNNIndonesia.com berupaya untuk mengkonfirmasi terkait hal ini kepada humas KS Orka Syahrini Nuryanti selaku perwakilan dari PT Sorik Marapi, pengelola PLTPB, namun belum kunjung mendapat respon. Eddiyanto selaku Kepala Teknik Panas Bumi PT SMGP mengkonfirmasi sebanyak 35 warga yang sempat dirawat karena insiden tersebut dan lima lainnya masih dirawat di rumah sakit.

Eddiyanto juga menegaskan bahwa perusahaan akan bertanggungjawab terkait insiden ini dan memastikan akan menyelesaikan masalah – masalah yang timbul dari insiden kebocoran gas beracun yang meresahkan warga. Diketahui kejadian tersebut terjadi saat perusahaan sedang melakukan uji coba pengoperasian salah satu sumur uap panas bumi . Saat ini polisi masih menyelidiki perkara ini.

Insiden dari sektor energi panas bumi ini bukan pertama kali menelan korban jiwa dan menyebabkan kerugian material. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan pada tahun 2018 juga pernah terjadi insiden yang hampir sama di PLTPB Solok Selatan. Selain itu, pada April 2020, semburan uap serupa kembali ditemukan pada PLTPB IJEN di Blawan Ijen, Jawa Timur yang dikelola oleh PT Medco Cahaya Geothermal.

“Setiap tahun kita bisa temukan peristiwa semburan uap yang berkaitan dengan proyek atau operasi panas bumi,” kata Koordinator JATAM Merah Johansyah.

Merah menilai kondisi ini kemudian diperburuk dengan penerapan Pasal 5 ayat (1) UU Cipta Kerja yang mendukung ekspansi energi panas bumi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Konservasi dan wilayah Laut.
Di sisi lain, kata Merah, hak veto masyarakat dihilangkan melalui Pasal 43 UU Ciptaker, di mana pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak diwajibkan memberi izin aktivitas usaha di tanahnya kepada pemegang perizinan berusaha panas bumi.

“Ini pembunuhan terhadap hak veto, jadi tidak ada lagi persetujuan masyarakat. Dihapuskan oleh diksi wajib ini. Jadi kalau mereka sudah sampaikan rencananya. Maka masyarakat dianggap wajib mengizinkannya,” ujarnya.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version