Mediatani – Komodo merupakan salah satu reptil karnivora yang disebut sebagai kadal terbesar dan terberat di dunia. Hal itu membuatnya termasuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO dan salah satu dari tujuh keajaiban alam dunia.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), pada tahun 2010, populasi komodo diperkirakan ada sekitar 1.200 ekor dan pada tahun 2019 bertambah menjadi lebih dari 3.000 ekor.
Sejak 1980, Pulau Komodo dan Pulau Rinca telah ditetapkan sebagai taman nasional, dengan tujuan untuk melindungi satwa komodo atau Varanus komodoensis. Hewan endemik purba ini yang hanya bisa ditemukan di Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di Taman Nasional Komodo (TNK) yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat.
Dalam rapat koordinasi pada 30 September 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyebutkan Pulau Komodo akan ditata bersama oleh pemerintah pusat dan Pemprov NTT sebagai world class tourism dan investasi.
Pada tahun yang sama, Menko Maritim Luhut B Pandjaitan menyampaikan akan ada semacam ‘Jurassic Park’ dengan pusat penelitian di Pulau Rinca. Sehingga, ide proyek ‘Jurassic Park’ ini bukan rencana baru di era pemerintah Joko Widodo, melainkan sudah berlangsung sejak lama.
Pengembangan TNK menjadi destinasi bermula dari dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang izin pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Hal ini menjadi payung bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk berinvestasi di lebih dari 54 taman nasional di Indonesia.
Wisatawan dan Nilai Kearifan Lokal
Setelah itu, diterbitkan Permen baru nomor P.8/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2019 tentang izin pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Lewat regulasi ini, KLHK dengan berbagi otoritas dengan Kementerian Maritim dan Investasi, Kementerian Pariwisata dan Pemerintah NTT menjadikan Pulau Komodo sebagai destinasi wisata eksklusif.
Pengembangan Proyek ‘Jurassic Park’di Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi perbincangan dan mendapat penolakan dari berbagai pihak seperti UNESCO dan WALHI.
Pasalnya, proyek ini dianggap akan merusak habitat asli komodo, serta menyingkirkan penduduk setempat karena dilakukan hanya demi kepentingan investasi.
Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu mengatakan, pembangunan proyek pariwisata “Jurassic Park” menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus meningkatkan jumlah wisatawan ke TNK ketimbang mengupayakan konservasi. Antara pemerintah dan UNESCO menunjukkan bahwa selama ini tidak ada koordinasi di antara keduanya.
“Bukan pembangunan sudah berjalan, sudah menimbulkan keriuhan di publik, sudah ada keterancaman terhadap ekosistem komodo, baru ngundang UNESCO,” kata Umbu, dikutip dari Kompas.com, Jumat 6 Agustus 2021.
Saat ini, model pariwisata yang sedang dibangun oleh pemerintah justru menjauhkan wisatawan dari nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sebelumnya.
Sebab, jika konsep pariwisata ini terwujud, maka wisatawan hanya akan datang menyaksikan komodo dan menikmati keindahan alam, tanpa ada interaksi dengan masyarakat setempat. Sehingga, tidak lagi termasuk sebagai pariwisata yang berbasis kerakyatan.
Meski masih ada beberapa kekurangan, namun kekurangan tersebut bukan sesuatu yang mustahil untuk diperbaiki.
Belum melaporkan AMDAL dan Tidak mendengar Aspirasi Rakyat
Pembangunan sarana dan prasarana di Pulau Rinca merupakan bagian dari pembangunan infrastruktur Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pembangunan infrastruktur tersebut direncanakan secara terpadu baik penataan kawasan, jalan, penyediaan air baku dan air bersih, pengelolaan sampah, sanitasi, dan perbaikan hunian penduduk melalui sebuah rencana induk pengembangan infrastruktur. Pembangunan ini dimulai sejak terbitnya izin Lingkungan Hidup yang terbit pada 4 September 2020.
Dalam mendukung pengembangan infrastruktur di Pulau Rinca, terlebih dahulu Kementerian PUPR melakukan penandatangan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan KLHK.
Sehingga, pengembangan Pulau Rinca sebagai destinasi wisata premium berkelas dunia dapat dilaksanakan secara terpadu dengan mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan.
Bulan Oktober lalu, Presiden Jokowi dalam kunjungan kerjanya ke NTT juga melakukan kontrol atas penataan kawasan wisata Labuan Bajo. Dalam pernyataan persnya pada situs presidenri.go.id, Jokowi menyinggung mengenai penataan di Pulau Rinca.
“Pada penataan di Pulau Rinca kita bisa melihat Komodo. Dengan demikian, dilakukan penataan sesuai dengan alam di lingkungan kawasan itu. Sehingga kelihatan sangat natural. Siapa pun yang berkunjung dan akan menjadi sebuah kawasan yang betul-betul memang premium,” kata dia.
UNESCO pun memberikan peringatan kepada pemerintah setelah Pertemuan Komite Warisan Dunia di Fuzhou, China, pada 16-31 Juli lalu. UNESCO meminta agar pemerintah Indonesia menghentikan sementara proyek infrastruktur wisata tersebut.
Sebab tanpa laporan AMDAL, proyek infrastruktur pariwisata dikhawatirkan mengancam nilai universal yang luar biasa (Outsanding Universal Values/OUV) di kawasan Taman Nasional Komodo.
UNESCO juga mengkhawatirkan bahwa AMDAL untuk proyek infrastruktur pariwisata di Pulau Rinca tidak secara memadai menilai potensi dampak terhadap OUV property. OUV adalah kriteria penetapan warisan dunia dari UNESCO, status yang didapatkan Taman Nasional Komodo sejak 1991.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, Nur Hidayati, beranggapan bahwa berlangsungnya proyek infrastruktur wisata di kawasan Taman Nasional Komodo merupakan bukti bahwa pemerintah tak mendengar aspirasi masyarakat.
Pelaku wisata lokal dan masyarakat setempat sebenarnya menolak pembangunan infrastruktur tersebut. Namun, aspirasi itu tak mau didengarkan oleh pemerintah.
“Kalau kita dengar tadi pemaparan teman-teman pelaku aktivitas pariwisata lokal dan lain-lainnya, mereka sebenarnya menolak rencana pembangunan ini. Dan aspirasi masyarakat ini harus dihormati,” kata Nur dalam sebuah konferensi virtual yang digelar WALHI, Kamis 5 Agustus 2021.
Di sisi lain, pemerintah memastikan akan terus mengedepankan prinsip-prinsip pariwisata berkualitas dan berkelanjutan di kawasan Taman Nasional Komodo.