Mediatani – Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) diketahui memiliki potensi cukup besar pada ternak sarang burung wallet. Potensi itu pun selama ini nyaris tak muncul ke permukaan.
Namun pada faktanya, ketika sekali melakukan ekspor dapat mencapai satu ton lebih. Besarnya potensi sarang burung walet ini dikemukakan Ketua Asosiasi Peternak Walet, Lalu Ading Buntaran.
Para peternak walet pun tergabung dalam wadah Asosiasi ternak walet itu. Tercatat ada sekitar 145 peternak burung walet yang tersebar di NTB.
Diketahui juga sekitar 100 lebih tercatat ada di Lombok. Sarang burung walet ini pun ditengarai sebagai “harta karun” yang selama ini nyaris tak diperhatikan. Tetapi nilai ekonominya sangat besar.
Di Desa Kateng, Kabupaten Lombok Tengah kini bahkan menjelma menjadi desa walet. Satu kilogram sarang burung walet, harganya berkisar antara Rp4 juta sampai Rp12 juta.
Untuk sarang yang sudah dibersihkan, harganya bisa mencapai Rp25 juta sekilo.
Lalu Ading ialah seorang peternak burung walet yang cukup besar di sana. Dirinya pun menjadi satu-satunya yang sudah memiliki izin ekspor.
Selama ini pun diketahui, sarang burung walet dijualnya ke pengusaha di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung. Dijual begitu saja, ketika diekspor ke berbagai negara.
Tentu asal burung walet ini dianggap berasal dari Jakarta atau Surabaya. Bukan lagi NTB, walaupun sumbernya dari NTB.
Potensi burung walet kini pun sudah mulai difokuskan. Salah satunya difasilitasi oleh Bank Indonesia. OPD-OPD lainnya seperti Dinas Perindustrian NTB, Dinas Perdagangan NTB, dan Dinas Koperasi dan UMKM NTB, masing-masing sudah menyatukan semangat mengembangkan potensi besar harta karun ini.
Sejumlah negara tujuan ekspor adalah negara-negara Asia seperi Malaysia, Jepang, China, Singapura, Thailand. Di Eropa, Belanda menjadi negara yang permintaan menjanjikan untuk sarang burung walet.
Lalu Ading pula telah mengambil inisiatif, mengumpulkan sarang burung walet dari peternak, kemudian mengekspornya langsung. Dan menggunakan atas nama NTB. Tidak lagi menggunakan nama daerah lain.
Dia menyebut, sarang burung walet menjadi incaran. Dan pangsa pasarnya hampir seluruh negara-negara di dunia.
Sarang burung walet ini biasanya dijadikan sebagai campuran obat-obatan dan kosmetik. Karena itu, Ading menegaskan, pemerintah daerah di NTB rugi jika tak mengelola potensi harta karun ini.
“Buat turunan-turunannya. Lakukan industrialisasi. Misalnya, buat kopi sarang burung walet madu. Buat kosmetik sarang burung walet, atau buat biskuit sarang burung walet. Dan NTB adalah salah satu daerah penghasil terbesar sarang burung walet, selain Sulawesi,” katanya kepada Suara NTB, Selasa, 23 Maret 2021, dilansir mediatani.co, Minggu (28/3/2021).
Potensi burung walet di NTB pun disebut sangat besar. Tidak seperti daerah-daerah lainnya karena sudah berpenduduk padat. NTB masih natural.
Sehingga menjadi daerah subur pengembangbiakan walet. Beternak walet tidak seperti beternak hewan-hewan ternak lainnya.
Walet hanya butuh tempat untuk membuat sarang. Makannya mencari sendiri. Dari serangga-serangga. Tidak juga membutuhkan biaya besar untuk menernakannya.
“Kita harapkan NTB Gemilang dengan waletnya. Dan potensi ini sayang kalau tidak dikelola,” demikian harap Owner CV. Ading Walet Al-Buntaran ini.
Sebelumnya, sebagaimana diberitakan mediatani.co, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Kementerian Pertanian (Kementan) berupaya untuk terus fokus dalam memacu kegiatan ekspor terhadap komoditas sarang burung walet (SBW).
Produk sarang burung walet ini merupakan produk dari subsektor peternakan yang dinilai kedepannya bisa menjadi ikon baru pada terhadap ekspor pertanian.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa pada kegiatan ekspor di sektor pertanian pada bulan Januari tahun 2021 mengalami pertumbuhan yaitu sebesar 13,91 persen per tahun atau year on year (YoY).
Kinerja kegiatan ekspor pada komoditas sarang burung walet dilakukan juga bersama dengan komoditas rempah, aromatik serta hasil hutan yang menjadi penyumbang terbesarnya.
Merespon hal itu, Ali Jamil selaku Kepala Badan Karantina Pertanian menambahkan bahwa salah satu negara yang paling banyak disasar oleh para pelaku usaha di Indonesia adalah China.
Hal ini karena harga jual yang ditawarkan lebih tinggi dibanding negara lain. Baca selengkapnya dengan klik di sini. (*)