Mediatani – Kurangnya kedelai lokal yang diproduksi petani untuk memenuhi kebutuhan produsen tahu dan tempe dalam negeri membuat penyediaan komoditas pangan tersebut masih bergantung dari luar negeri alias impor.
Dari 3 juta ton kebutuhan kedelai nasional dalam setahun, baru berkisar 300 ribu hingga 400 ribu ton kedelai lokal yang diproduksi dalam setahun. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan semenjak Indonesia bisa swasembada kedelai pada tahun 1992 silam.
Terkait hal ini, Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin berharap peran pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) untuk berupaya agar produksi kedelai dalam negeri dapat meningkat dengan hasil yang terstandar.
“Kami mengharapkan Kementerian Pertanian memberikan pendidikan kepada para petani kedelai agar mereka bisa kembali hidup, dengan mengadopsi tata cara menanam kedelai seperti yang diterpkan di Amerika. Jadi bagaimana mekanismenya, pakai mesin, pakai asuransi dan lain-lain,” kata Aip, dilansir dari Antara, Selasa, (18/1).
Menurutnya, produk kedelai impor maupun kedelai produksi dalam negeri masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kekurangan pada komoditas kedelai lokal, salah satunya adalah produk yang dihasilkan tidak terstandar atau berbeda-beda karena pada proses produksinya masih menerapkan sistem pertanian yang tradisional.
Sedangkan produk kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat, Brasil, Argentina, ataupun Kanada sudah terstandar atau seragam lantaran proses produksinya telah menggunakan mekanisasi dan teknologi.
Aip juga memaparkan, kedelai impor memiliki kelebihan dari segi kualitas yang sudah terstandarisasi baik itu dari bentuk, ukuran, warna, tingkat kekeringan, protein yang dihasilkan semuanya seragam.
Meski demikian, kandungan gizi pada produk kedelai dalam negeri khususnya kandungan protein masih lebih tinggi dibandingkan produk impor, karena proses penanaman yang dilakukan dengan cara yang tradisional.
“Tapi kalau kedelai lokal itu pada umumnya tidak ada standarisasi. Namun karena dia alamiah, ini proteinnya, gizinya lebih tinggi, lebih bagus daripada kedelai impor,” jelas Aip.
Aip mengungkapkan bahwa petani kedelai masih enggan untuk menanam kedelai karena nilai ekonomi komoditas ini lebih rendah dibandingkan menanam padi ataupun jagung. Misalnya, pada lahan dengan ukuran satu hektare, tanaman kedelai yang diproduksi hanya bisa menghasilkan sekitar dua ton dengan keuntungan kurang lebih Rp7 juta.
Sementara jika petani menanam padi dengan luas lahan yang sama dan masa tanam yang sama atau sekitar 100 hari, jelas Aip, beras yang dihasilkan petani bisa mencapai 5-6 ton dengan keuntungan mencapai Rp50 juta hingga Rp60 juta dalam satu kali tanam.
Aip mengatakan pada saat Indonesia bisa swasembada kedelai di 1992, harga kedelai selalu 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras. Seiring berkembangnya produksi kedelai di Amerika dan Brasil, harga kedelai terus mengalami penurunan hingga menjadi di bawah harga beras.