Mediatani – Petani Porang atau iles-iles kian meningkat, termasuk di Kabupaten Madiun yang merupakan daerah pelopor pengembangan komoditas pertanian ini. Hal ini bisa dilihat dari luas lahan yang ditanami porang mengalami penambahan lima hingga sepuluh persen tiap tahunnya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pertanian setempat, Sumanto mengungkapkan hinggas kini lahan yang digunakan petani untuk budidaya porang mencapai 5.300 hektare.
Akhir-akhir ini porang menjadi primadona karena nilai jualnya yang fantastis. Porang yang telah diolah menjadi tepung akan diekspor ke berbagai negara seperti Jepang hingga Australia. Kemudian tepung porang akan diproses menjadi berbagai bahan makanan seperti beras Shirataki hingga kosmetik.
Harga ubi segar porang yang memenuhi standar panen berkisar antara Rp3000 hingga Rp3.500/kg. Jika ubi porang diproses dan dikeringkan menjadi bentuk keripik (chip), harganya menjadi Rp17.500 hingga Rp22.000/kg, namun jika telah diproses menjadi tepung glukomannan, harganya meningkat menjadi sekitar Rp125.000 hingga Rp150.000/kg.
Kebutuhan beberapa negara akan porang masih cukup tinggi, hal ini dibuktikan dengan ekspor ke China, Jepang,
Australia, Sri Langka, Malaysia, Korea, New Zealand dan Italia yang mencapai 10.000 ton/tahun, dan hingga saat ini kebutuhan porang baru dapat terpenuhi sekitar 4.000 ton/tahun sehingga masih kekurangan 6.000 ton/tahun.
Berdasarkan nilai jual inilah yang membuat para petani rela mengeluarkan modal bahkan hingga ratusan juta.
Sumanto mengatakan jika pembudidaya porang bukan hanya dari kalangan petani. Bahkan pembudidaya porang sudah merambah di kalangan akademisi, politisi, maupun pengusaha. Mereka rela mengeluarkan modal hingga ratusan juta dengan maksud ‘memancing’ keuntungan yang lebih banyak lagi.
Salah satunya, seorang warga di Kecamatan Dagangan menanam porang di atas lahan seluas dua hektare dengan modal hingga Rp350 juta. Menurut Sumanto, hal ini berupa spekulasi dan tentunya tidak sesuai dengan analisis usaha tani.
Apalagi hingga saat ini belum ada standarisasi terkait harga bibit porang. Untuk benih porang atau yang biasa disebut katak, harganya per kilogramnya bisa mencapai Rp370 ribu. Sedangkan untuk eceran, harganya Rp6.000 per polybag.
Jika dihitung, harga tersebut masih terbilang mahal.
Apalagi dalam memanen porang normalnya harus menunggu dua hingga tiga tahun. Di samping itu, saat ini harga jual Porang yang sudah panen mencapai Rp14 ribu per kilogram. Umbi porang yang sudah dipanen kemudian diiris melintang dan dijemur sebelum dijual.
Hal ini menyebabkan sejumlah pembudidaya porang dengan terpaksa berhenti di tengah jalan. Walaupun belum memasuki waktu panen, benih tanaman dijual karena mengalami kesulitan ekonomi. Keuntungan yang didapatkan pun tidak maksimal dan masih jauh dari ekspektasi.
Realitanya, banyak warga dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan memaksa untuk menanam porang. Namun dalam perjalanannya, belum genap setahun, umbi sudah dipanen padahal beratnya masih setengah kilogram. Idealnya, umbi porang yang siap panen memiliki berat lebih dari dua kilogram. Untuk mendapatkan hasil yang ideal itu, maka diperlukan setidaknya dua tahun usia tanaman.
Sumanto menegaskan jika tanaman porang termasuk bagian dari investasi jangka menengah bagi yang membudidayakannya. Petani yang ingin lebih cepat mendapatkan keuntungan sangat disarankan untuk menanam komoditas yang lain.
Tanaman yang cepat menghasilkan keuntungan adalah tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama dalam memperoleh hasinya, seperti padi dan palawija yang tentunya dampak ekonominya telah banyak dirasakan petani.
Tanaman ini bisa dipanen dalam jangka waktu tiga hingga empat bulan pasca tanam, sedangkan porang membutuhkan waktu lebih lama lagi yang tentunya berpengaruh dengan jumlah modal yang harus dikeluarkan.