Rencana Reklamasi Pantai Manado Buat Nelayan Resah

  • Bagikan
Perahu nelayan di Pantai Manado

Mediatani – Kelompok nelayan tradisional di Teluk Manado hanya bisa menyaksikan pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir Manado yang terus mengubah lanskap kehidupan mereka. Pembangunan Jalan Boulevard II membuat nelayan kesulitan untuk menambatkan perahu bahkan untuk melaut.

Dilansir dari Kompas, salah seorang Nelayan tradisional, Ferdy Tuilan (47), mengaku heran kenapa pemerintah tak membangun semacam jetty atau tambatan untuk nelayan seiring pembangunan Jalan Boulevard II. Padahal, komunitas nelayan di kelurahan Sindulang 2 lebih besar dibandingkan kelurahan lainnya.

”Ada enam kelompok nelayan di sini, semua anggotanya 60-70 orang. Namun, di sini tidak ada tambatan, sedangkan di Sindulang 1 dan Bitung Karangria ada. Jadi, kami setengah mati tarik dan angkat perahu ke tepi. Kalau dibiarkan mengapung, pasti rusak,” ungkap Ferdy.

Sejak pembangunan Jalan Boulevard II pada paruh kedua dekade 2000-an, baru sekitar 3 kilometer itu membentang di lima kelurahan, yaitu Sindulang 1 dan 2, Bitung Karangria, Maasing, dan Tumumpa 2.

Meski belum selesai, namun jalan tersebut telah mengubah kehidupan nelayan. Dulunya, warga pesisir bisa langsung menginjak pasir pantai ketika keluar rumah, kini hanya ada jalan aspal yang bisa ditapaki. Hal itu membuat mereka tak bisa menarik perahu sampai ke depan rumah.

Selain itu, tambah Ferdy, daerah tangkapan ikan juga menjadi semakin jauh, dari 2-3 mil laut (3,7-5,5 kilometer) menjadi 8-9 mil laut (14,8-16,6 km) akibat pantai yang mendangkal dan makin keruh.

”Ikan menjauh, cari perairan yang lebih jernih. Kami makin susah cari ikan karena harus lawan kapal pajeko,” keluh Ferdy.

Pembangunan yang tidak jelas

Wacana reklamasi di pantai itu kembali menghantui nelayan di sepanjang Boulevard II. Pemerintah dan kelompok-kelompok nelayan telah menggelar rapat beberapa kali, namun belum menemui kesimpulan.

Rencananya, lahan reklamasi itu akan menjadi pusat bisnis seperti kompleks Bahu Mall, Manado Town Square, Kawasan Megamas, dan Marina Plaza di Boulevard Piere Tendean. Hal tersebut akan membuat nelayan kehilangan akses langsung ke laut

Di daerah Sario, nelayan punya tempat menepi di pantai Kawasan Megamas setelah dibangun sebuah jetty milik TNI AL. Namun, nelayan harus membayar karcis masuk kendaraan bermotor Megamas. Akhirnya banyak yang memilih berjalan 200-300 meter dari rumahnya.

”Sebenarnya kami menolak, tetapi bagaimana lagi, ini kebutuhan zaman. Kami cuma berharap ada jalan tengah, misalnya tambatan perahu dan jalan akses ke pantai untuk melaut. Nelayan seperti kami sudah harus melaut pukul 04.30 Wita, masak harus tunggu toko buka dulu?” jelasnya.

Meski demikian, data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut pada 2020 menunjukkan bahwa produk domestik regional bruto (PDRB) yang dihasilkan sektor perdagangan besar dan ritel diperkirakan sebesar Rp 10,52 triliun, mendekati sektor perikanan Rp 10,75 triliun.

Jika jumlah tersebut ditambah dengan sektor akomodasi dan makan-minum yang nilai PDRB-nya di Sulut Rp 1,98 triliun, maka lahan reklamasi lebih menghasilkan pendapatan yang banyak.

”Kadang pemerintah ingkar janji. Seperti di pertokoan Boulevard (Piere Tendean) sana, tiba-tiba akses (ke pantai) sudah ditutup semua. Apa kami harus alih profesi jadi penjaga toko atau kerja bangunan supaya bisa makan?” kata Fredic Nicolas (66), nelayan lain di Sindulang 2.

Fredic mengaku sadar bahwa dirinya sudah sepuh dan mungkin tak lama lagi akan berhenti melaut. Namun, masih terdapat banya nelayan yang 15-20 tahun lebih muda darinya dan masih menggantungkan kehidupannya di laut.

”Dari dulu kami tinggal di sini dan cuma tahu melaut. Harus ada jalan tengah untuk nelayan,” ujarnya.

Nelayan kecil dan tradisional sebenarnya juga punya hak atas akses langsung dan bebas menuju laut. Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang diubah dengan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K) mewajibkan alokasi ruang dan akses pemanfaatan laut bagi masyarakat pesisir.

Akan tetapi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulut Jenny Karouw mengaku belum mengatahui persis rencana pengembangan lahan reklamasi. Meski wacana itu sempat beredar, tetapi ia tak benar-benar tahu rencana teknisnya.

”Memang waktu kepemimpinan (Gubernur Olly Dondokambey) yang pertama, ada rencana reklamasi. Namun, para periode kedua ini, kami lagi fokus mengembangkan infrastruktur untuk membuka jalur-jalur ke sentra produksi agar sektor pertanian dan perkebunan terus bergerak,” ujarnya.

  • Bagikan