Singkong Impor Hancurkan Harapan Petani Lokal

  • Bagikan
Petani singkong mengangkut hasil panennya

Mediatani.co – Petani singkong belum menikmati harga singkong selama tiga bulan belakangan. Petani merugi akibat anjloknya harga setelah singkong impor mendominasi di berbagai pasar lokal.

Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mendesak pemerin­tah segera mengevaluasi kebi­jakan impor singkong. Karena, kebijakan tersebut memberikan dampak serius terhadap petani lokal.

“Produksi daerah penghasil singkong seperti Kabupaten Pati Jawa Tengah, surplus. Mereka mengalami kerugian hingga miliaran akibat harga yang masih rendah di pasaran,” ungkap Ikhsan kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.

Ikhsan menyebutkan, saat ini harga singkong petani cuma Rp 500 sampai Rp 700 per kilogram (kg) dari harga normal Rp 2.000 per kg. Harga itu mencekik petani karena modalnya Rp 1.400 per kg. Menurutnya, sejak harga singkong jatuh tiga bulan belakangan ini, petani rata-rata merugi antara Rp 10 juta sampai Rp 21 juta per hektare (ha).

Ikhsan mengatakan, saat ini para petani tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya pasrah dan berharap pemerintah segera turun menstabilkan harga.

Ketua Asosiasi Petani Sing­kong Pati, Beni Nurhadi menye­butkan saat ini harga singkong di pasaran Rp 650 per kg. Menurut­nya, harga singkong jatuh imbas dari impor tepung tapioka dan kenaikan impor.

“Impor tahun 2015 hanya 24 ribu ton. Tetapi 2016, naik empat kali lipat,” ungkapnya.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ini, Sepanjang Januari-April 2017, impor singkong dari Vietnam tercatat mencapai 1.234 ton dengan nilai 499,8 ribu dolar AS. Sedangkan pada April 2017, impor singkong mencapai 499,8 ton dengan nilai 94,6 ribu dolar AS.

Godok Aturan Impor

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Per­dagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan aturan untuk melindungi hasil panen singkong petani.

“Saat ini belum ada aturan mengenai tata niaga singkong. Sehingga belum diketahui secara jelas, berapa sebenarnya kebutu­han singkong impor. Belum ada data yang pasti. Makanya harga singkong petani jatuh,” kata Oke kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.

Dia menuturkan, sebenarnya pihaknya sudah menyelesaikan penyusunan regulasi tersebut. Hanya saja, perlu dilakukan pemantapan dan pembahasan dengan pemangku kepentingan lainnya.

Oke mengungkapkan, dalam aturan tata niaga singkong, pihaknya mengusulkan importir untuk melakukan penyerapan terlebih dahulu dari pertanian lokal.

Sementara itu, Kepala Bidang Cadangan Pangan, Badan Ke­tahanan Pangan Kementerian Pertanian Komarudin mengata­kan, pihaknya sedang mengkaji kemungkinan mengatur harga acuan penjualan singkong. Hasil kajian ini nanti akan diserahkan ke Kemendag.

“Soal harga acuan belum bisa ketetapkan waktu dekat ini. Karena kajian belum selesai,” ujarnya.

Dia menyebutkan saat ini ada tiga skenario terkait rencana penetapan harga acuan. Per­tama, menetapkan harga acuan nasional. Harga break even point (BEP) usaha tani singkong dalam skenario ini ditetapkan Rp 968 per kg. Dengan acuan ini, harga acuan nasional ditetapkan Rp 1.040 per kg sehingga petani untung 7,39 persen atau harga acuan dimaksimalkan lagi men­capai Rp 1.120, sehingga petani untung 15,65 persen.

Skenario kedua, menetapkan harga acuan hanya untuk Lam­pung saja. Sebab, Lampung adalah salah satu sentra petanian singkong. Di skenario kini, BEP usaha tani singkong dipatok Rp 886 per kg. Pemerintah beren­cana menetapkan harga acuan Rp 910 per kg, sehingga petani untung 2,67 persen atau mak­simal Rp 980 per kg, sehingga petani untung 10,57 persen.

Dan, skenario ketiga, menetapkan harga acuan di Jawa Tengah, di mana pemerintah menyiapkan harga acuan sing­kong di Jawa Tengah Rp 1.040 per kg. Tetapi dengan harga ini, diperkirakan, petani masih merugi 6,83 persen. Sedangkan ketika harga acuannya dinaik­kan jadi Rp 1.120 per kg, petani hanya untung tipis sebesar 0,33 persen.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version