Swasembada Pangan : Optimisme, Realitas, dan Tantangan Multidimensional

  • Bagikan
ilustrasi teknologi irigasi efektif di lahan pertanian
ilustrasi teknologi irigasi efektif di lahan pertanian

Oleh: Muhammad Nasrul, S.P., M.P
Dosen Program Studi Agroekoteknologi Unsulbar

Indonesia berdiri di atas dua kaki, petani sebagai pilar negara agraris, dan nelayan sebagai representasi negara maritim, agar bisa berdiri kokoh, bahkan berlari kencang, petani dan nelayan yang sejahtera adalah syarat mutlak.

Prabowo Subianto, dalam pidato pertamanya sebagai Presiden RI, menegaskan bahwa Indonesia akan mencapai swasembada pangan pada tahun 2028. Pernyataan ini tentu tidak dilontarkan sembarangan. Optimisme tersebut didasarkan pada analisis yang matang, dengan mempertimbangkan potensi lahan dan sumber daya manusia (SDM) yang ada. Optimisme ini patut diapresiasi, terutama jika diiringi dengan upaya konkret untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut.

Namun, jika kita melihat persoalan pangan dan pertanian secara lebih objektif, pernyataan tersebut tampaknya cukup utopis. Berdaulat pangan tidak sesederhana menanam, memanen, dan kemudian mengekspor, berdaulat pangan merupakan persoalan multidimensional yang kompleks.

Tantangan Utama

Salah satu tantangan utama adalah kondisi petani Indonesia, subjek sekaligus tulang punggung cita-cita mulia ini. Dari 27,7 juta petani di Indonesia, lebih dari 50% atau sekitar 17,2 juta di antaranya tergolong petani gurem yang mengelola lahan kurang dari 0,5 hektar (BPS, 2023). Bahkan, sebagian besar petani hanya berstatus buruh tani, kaum tani bahkan sering menghadapi berbagai persoalan seperti perampasan lahan, kelangkaan pupuk, diskriminasi, hingga intimidasi.

Selain itu, alih fungsi lahan menjadi ancaman nyata. Setiap tahun, sekitar 50.000 hingga 70.000 hektar sawah dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian, sementara kemampuan mencetak sawah baru hanya berkisar 20.000 hingga 40.000 hektar per tahun (Kementan, 2023). Ekstensifikasi lahan pertanian dengan cetak sawah ini, seringkali menghilangkan hutan-hutan produktif, berikut habitat didalamnya, tentu ini merupakan perang terbuka terhadap bencana ekologis.

Lahan sawah yang terus berkurang ini seringkali juga dipaksa terus produktif dengan intensifikasi, yang sering kali dilakukan secara berlebihan dengan memandikan lahan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, semacam genosida kepada mikroorganisme dan memaksa tanah bekerja di luar batas kemampuannya. Akibatnya, 72% lahan pertanian di Indonesia telah rusak, dengan kandungan bahan organik kurang dari 2%, padahal tanah sehat membutuhkan setidaknya 5% bahan organik.

Upaya budidaya organik dan pertanian ramah lingkungan belakangan ini memang mulai digalakkan. Namun, realitasnya di lapangan menunjukkan bahwa pupuk dan petisida kimia masih mendominasi. Kurangnya edukasi, minimnya insentif bagi pelaku pertanian organik, serta lemahnya regulasi sering kali membuat kebijakan ini dipandang sekedar retorika politik atau langkah untuk menekan beban APBN dari subsidi pupuk kimia.

Utopisnya Adopsi Teknologi

Penggunaan teknologi seperti precision farming atau kecerdasan buatan (AI) yang diterapkan di negara maju sering dianggap sebagai solusi bagi pertanian. Namun, mengadopsi teknologi tersebut di Indonesia juga menghadapi kendala besar. Rata-rata usia petani di Indonesia adalah di atas 50 tahun, yang menjadi tantangan dalam memperkenalkan digitalisasi, IoT, dan inovasi modern lainnya. Selain itu, keterbatasan infrastruktur, biaya, dan akses terhadap teknologi menjadi penghambat utama.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dengan lahan pertanian yang luas, teknologi yang maju, bahkan telah berupaya untuk merekayasa biologis dengan mengembangkan sejenis kapsul pengganti pangan yang revolusioner, dengan sekali konsumsi, cukup memenuhi kebutuhan manusia berhari-hari. Sementara di China telah berhasil menanam padi di laut, memanfaatkan teknologi canggih yang beradaptasi dengan ekosistem baru, merekayasa genetika dengan menciptakan varietas tahan salinitas.

Kemudian jepang dengan urban farming yang menjadi role model pertanian perkotaan, merekayasa ekosistem dengan teknologi tinggi seperti pencahayaan LED, kontrol suhu, dan sensor otomatis telah menciptakan lingkungan yang ideal bagi tanaman. Beberapa negara yang peduli bahkan menggaji petani mereka untuk memastikan stabilitas produksi pangan.

Sementara itu, di Indonesia, petani masih harus berjuang sendiri menghadapi pinjaman, menghadapi tengkulak yang terkadang memonopoli harga, akses pasar yang seringkali terbatas, dan proses usaha pertanian baik in farm maupun off farm yang cenderung kurang efektif dan efisien. Bahkan, Organisasi pangan dan pertanian dunia dalam laporannya “Global food losses and waste (FAO,2011) menyatakan bahwa lebih dari setengah pangan global hilang, yang terbagi selama proses produksi, panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi, sebanyak 30% (Food Loss), dan kehilangan pada tahap konsumsi, termasuk di restoran, hotel, acara resmi dan tidak resmi, sampai pada rumah tangga, yaitu yang tersisa di piring-piring makanan, kemudian terbuang menjadi limbah, yang secara keseluruhan juga sebanyak 30% (Food waste).

Lebih lanjut, Laporan dari (BCG,2018) menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara penyumbang terbesar dengan total kehilangan pangan mencapai 300kg per kapita per tahun. Kemudian diperkuat data (Bappenas,2023) yang menunjukkan bahwa food loss dan food waste di Indonesia mencapai 23 sampai 48 juta ton per tahun, atau setara dengan 1-2 % dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data ini menunjukkan kerugian secara ekonomi, pemborosan sumber daya, bahkan kerusakan lingkungan karena kehilangan pangan ini cenderung menghasilkan gas metana yang berkontribusi pada perubahan iklim. Padahal, dengan menekan food loss dan food waste saja, Indonesia dapat meningkatkan pasokan pangan sampai 60%, tanpa perlu intensifikasi dan ekstensifikasi yang telah terbukti merusak lingkungan.

Terganjal Tata Kelola

Tantangan lain juga terdapat pada struktural pemerintahan yang mana masih menghambat perkembangan pertanian. Monopoli alat dan mesin pertanian (alsintan) dan segala jenis bantuan disektor pertanian, pembuatan pseudo-kelompok tani dan fraud administratif telah menghancurkan kepercayaan petani kecil terhadap program subsidi, infrastruktur yang kurang memadai untuk distribusi, dan birokrasi yang berbelit-belit menjadi persoalan besar. Pemberian bantuan pemerintah yang sering kali terhambat oleh korupsi dan nepotisme membuat banyak petani kecil yang benar-benar membutuhkan tidak mendapatkan manfaat langsung.

Di tengah persoalan tersebut, koordinasi antar-kementerian dan lembaga terkait harus diperkuat. Kebijakan yang tumpang tindih, seperti antara Kementerian Pertanian, Perdagangan, BUMN, dan Pertahanan, harus diselaraskan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertanian. Selain itu, penghapusan monopoli dari industri-industri besar, pembukaan akses pasar yang lebih luas dengan memihak kepada petani lokal, tentu akan memberikan keuntungan yang lebih adil menuju swasembada pangan.

Solusi konkret lain juga diperlukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Perubahan paradigma dalam memandang sektor pertanian harus dilakukan. Salah satu langkah strategis adalah desentralisasi pengelolaan komoditas pangan, karena setiap daerah memiliki potensi pangan lokal yang berbeda, pemanfaatan pangan lokal dapat mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu dan memperkuat ketahanan pangan daerah, yang berlanjut pada swasembada.

Sayangnya, pejabat terkait sering kali membahas ketimpangan pertanian ini di hotel-hotel mewah, dengan suguhan makanan impor di meja-meja rapat mereka, alih-alih turun langsung ke lahan petani. Hal ini menunjukkan kurangnya keterlibatan langsung dari pemangku kebijakan dalam memahami kondisi di lapangan.

Di saat negara-negara maju sudah mengembangkan pangan buatan berbasis teknologi paling mutakhir, yang dapat memenuhi kebutuhan pangan manusia dalam jangka waktu yang panjang. Indonesia sendiri masih berkutat dengan persoalan-persoalan yang mendasar. Bahkan ditengah segudang masalah ini, kita tetap berambisi untuk menjadi lumbung pangan dan memberi makan seluruh penduduk bumi.

  • Bagikan