Mediatani – Untuk memberikan warna pada kain batik, biasanya pabrik-pabrik menggunakan zat kimia yang memang dikhususkan untuk yang berbahan tekstil. Namun, saat ini telah ditemukan inovasi baru yaitu teknik membatik dengan menggunakan konsep ramah lingkungan yang telah diperkenalkan oleh sebuah rumah UMKM yang ada di Yogyakarta.
Dilansir dari detik.com, Namanya Ecoprint, dengan menggunakan berbagai jenis daun yang bisa ditemukan dilingkungan sekitar. Bentuk dan warnanya pun menyesuaikan dengan daun yang telah digunakan.
Hanitianto Joedo selaku CEO Rumah Kreatif BUMN Yogyakarta telah memperkenalkan produknya di Plaza Indonesia Jakarta Pusat di tahun 2018. Menurutnya, ecoprint adalah salah satu teknik memindahkan warna secara alami dalam rangka mewarnai kain yang berasal dari berbagai tumbuhan.
Dalam menghasilkan kain batik menggunakan warna alami, diketahui ada beberapa teknik yang dilakukan contohnya seperti pukul, kukus dan pengkaratan. Sedangkan untuk bahannya bisa memanfaatkan daun seperti daun pepaya, bayam, dadap bahkan kelopak mawar mulai yang masih segar ataupun setengah kering.
Salah satu teknik yang diperlihatkan adalah teknik pukul. Pertama, bahan yang harus dipersiapkan antara lain jenis kainnya, daun yang akan dijadikan sebagai motif kain dan pewarnaan, palu karet dan talenan.
Caranya yaitu, kain disimpan di atas talenan. Kemudian, daun yang dipilih tadi disimpan diatas kain lalu tutup dengan bagian lainnya. Kemudian, daun tadi dipukul dengan menggunakan palu karet sampai warna alaminya keluar.
Untuk mendapatkan hasil warna yang bertahan lama, Kita diamkan beberapa saat sampai warna kain tersebut meresap. Selanjutnya tinggal disemprot dengan menggunakan air cuka atau air tawas hingga kering.
Ketika Kita ingin mendapatkan hasil warna yang sedikit lebih gelap, cukup mencucinya dengan menggunakan air karat yang sebelumnya telah diendapkan. Maka hasilnya, kain polos putih tadi akan berubah menjadi kain yang mempunyai ragam corak dan warna.
Rumah Kreatif BUMN Yogyakarta ini memiliki binaan yaitu Debora Art. Kain batik yang dijualnya berkisar dari Rp 600 ribu hingga Rp 2,5 juta rupiah yang berbahan sutera. Dari usaha membatik tersebut, Debora Art mampu meraup omzet delapan hingga sepuluh jutaan per bulannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Siti Jamilatul Khoiriyah atau akrab disapa Syamila. Seorang guru yang tinggal di Desa Polagan, Madura. Dia membuat warna dan motif kain yang bersumber dari dedaunan ataupun biji-bijian.
Metode pewarnaan kain yang digelutinya, berasal dari pelatihan yang digelar oleh Dinas Koperasi Pamekasan pada tahun 2019. Meskipun dirinya tidak hadir saat itu, tetapi dia penasaran dan kemudian tertarik tentang ecoprint yang diposting oleh temannya yang hadir. Lalu dia belajar secara otodidak.
Menurutnya, ecoprint adalah salah satu teknik dimana tanaman, bunga dan daun meninggalkan bentuk, warna serta bekas pada kain. Bahan dari tanaman tersebut dibundel pada kain. Kemudian kain tersebut di kukus atau direbus agar warnanya terlepas secara alami dari tanaman. Sehingga akan terbentuk cetakan kontak yang disebut “cetakan ramah lingkungan”.
Menurutnya, pewarnaan kain ecoprint ini menggunakan bahan-bahan alami seperti daun-daunan, kayu-kayuan atau biji-bijian. Satu hal yang mempengaruhi adanya perbedaan warna pada setiap daun adalah senyawa tanin yang dikeluarkan oleh daun.
Pada awalnya, Syamila hanya menggunakan daun jati dan daun lanang. Namun saat ini berkat adanya pelatihan dan kegigihannya mencari di internet, dia pun tau bahwa hampir setiap daun bisa digunakan sebagai bahan pembuat ecoprint.
Bahkan daun jati tanpa dikukus pun, warnanya sudah bisa keluar. Jika memang dikukus, daun jati akan menghasilkan warna yang jauh lebih cerah.