Mediatani – Pasar global di negara berkembang saat ini tengah mengalami lonjakan kenaikan terhadap harga pangan. Hal itu disebabkan karena komoditas seperti biji-bijian, minyak dan tembaga yang diharapkan dapat menjadi pemulih terhadap sektor ekonomi pasca pandemi. Selain itu, karena terjadi pelonggaran terhadap kebijakan moneter.
Dilansir dari Bisnis.com, bahwa di negara Brazil contohnya, tercatat harga komoditas andalan kacang penyu lokal mengalami kenaikan yaitu sebesar 54 persen dibanding pada bulan Januari 2021. Selain itu, konsumen juga akan membayar gula sebesar 61 persen lebih tinggi dari tahun lalu.
Sementara itu, Konsumen di Amerika Serikat, Eropa dan Kanada juga tak luput dari hantaman kenaikan harga. Hal ini karena perusahaan telah kehabisan cara agar bisa membendung hantaman tersebut. Setelah sebelumnya perusahaan tersebut dihimpit situasi pandemi dan juga biaya angkut yang mengalami peningkatan.
Merespon hal tersebut, menurut NielsenIQ di Amerika Serikat, bahwa kenaikan harga hampir mendekati sebanyak tiga persen di tahun fiskal (kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengarahkan perekonomian negara) yang berakhir pada tanggal dua Januari, kira-kira dua kali lipat tingkat inflasi keseluruhan.
“Masyarakat harus membiasakan diri untuk membayar lebih jika ingin makanan,” kata Sylvain Charlebois selaku Direktur Lab Analisis Makanan Agri di Universitas Dalhousie di Kanada, dilansir Bloomberg pada hari Senin (8/3/2021).
Harga bahan pokok seperti biji-bijian, gula dan kedelai mengalami lonjakan. Hal tersebut mendorong harga pangan global ke level tertinggi baru dalam enam tahun. Dalam waktu dekat ini, kemungkinan harga tersebut belum turun sebab masih dipengaruhi oleh cuaca buruk, permintaan yang juga mengalami kenaikan serta rantai pasokan global yang hampir hancur karena virus corona ini.
Di negara Inggris, dampak Brexit memperparah tekanan tersebut. Selain itu, menambah juga komplikasi dan penundaan pada perdagangan yang sebelumnya tanpa hambatan. Federasi Makanan dan Minuman Inggris Raya memperkirakan bahwa birokrasi dan pemeriksaan perbatasan baru dapat menambah biaya tiga miliar poundsterling (US$4,1 miliar) per tahunnya untuk importir makanan.
Tantangan tersendiri juga dialami oleh Industri makanan di Amerika Utara. Secara khusus, terjadi pengurangan terhadap supir truk dan peti kemas yang menyebabkan pengangkutan makanan menjadi jauh lebih mahal. Selain itu, adanya kenaikan harga minyak yang juga meningkatkan biaya pada proses pengemasan.
Dengan meningkatnya tekanan ini, Rusia dan Argentina telah memberlakukan pembatasan harga pada bahan pokok tertentu dan memberlakukan tarif ekspor dalam upaya untuk menahan harga pangan dalam negeri. Di sejumlah negara maju, pemerintah akan lebih fokus tentang bagaimana caranya untuk menjadi negara yang berswasembada dibanding mengontrol harga.
Prancis bahkan berencana untuk meningkatkan produksi tanaman yang memiliki protein tinggi sehingga dinilai mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai. Sementara itu, Singapura juga belum lama ini menjadi negara pertama yang menyetujui proses penjualan daging yang dibuat di laboratorium. Hal itu karena untuk mendorong terjadinya peningkatan kapasitas terhadap pangan domestiknya.
Sedangkan, beberapa negara lain juga terus berupaya untuk mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi yang bersifat masif. Gubernur Federal Reserve Jerome Powell saat berbicara di depan Komite Jasa Keuangan DPR AS pada akhir bulan lalu, menyampaikan bahwa kerawanan pangan sebagai salah satu contoh bagaimana pandemi telah membebani masyarakat yang lebih miskin.
“Ini menjadi pertanda bahwa perlu adanya dukungan dan pihak kami sungguh-sungguh butuh untuk memulihkan keadaan ekonomi secepat mungkin,” kata Powell.