Mediatani – Diperbolehkannya kembali penggunaan cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada beberapa waktu lalu ternyata banyak menuai protes dari berbagai kalangan, tidak terkecuali Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi.
Dedi Mulyadi menyatakan bahwa dirinya dengan tegas menolak aturan yang sebelumnya telah dilarang pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjastuti tersebut. Sebab, menurutnya, selain bisa merusak ekosistem laut, kapal cantrang juga akan merugikan nelayan kecil.
Umumnya, kapal cantrang tersebut menggunakan jaring dengan lubang kecil sehingga ikan-ikan kecil selalu ikut terjaring.
Dilansir dari Kompas, Minggu (24/1/2020), Dedi mengaku pihaknya merasa ada kejanggalan dengan apa yang terjadi di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Setelah sebelumnya ekspor benur menimbulkan masalah, kini cantrang yang menimbulkan polemik.
Menurut Dedi, kebijakan diizinkannya kembali kapal cantrang untuk beroperasi itu terkesan populis. Padahal, menurutnya, kebijakan tersebut sebenarnya dibuat untuk kepentingan semua masyarakat yang terlibat.
“Seolah-olah berpihak pada nelayan dan sejenisnya, tapi yang menikmati itu tetap saja pengusaha besar,” kata Dedi.
Dedi mengatakan, hanya kapal besar yang dapat menggunakan cantrang tersebut dan tidak mungkin dapat dipakai oleh nelayan kecil untuk menangkap ikan. Menurutnya, kemungkinan nelayan kecil itu hanya bekerja di kapal-kapal besar, sedangkan hanya pengusaha yang menikmati hasilnya.
“Perahu kecil nggak akan pakai cantrang, nggak kuat nariknya kok,” kata Dedi.
Dalam hal ini, menurutnya, tugas menteri Kelautan dan Perikanan harusnya membuat inovasi yang tetap menjaga ekosistem dan kesinambungan laut. Kerugian nelayan akibat pelarangan cantrang, solusinya bukan mengizinkan, tetapi dengan membuat inovasi yang membuat nelayan bisa menangkap ikan besar tetapi ekosistem laut tetap terjaga.
“Itulah seharusnya fungsi menteri dan Dirjennya. Kalau jadi menteri hanya mengiyakan para dirjennya (direktur jenderal), saya tanya mana inovasi dari seorang menteri. Dulu benur yang diekspor, sekarang ikan kecil dijaring cantrang,” kata Dedi.
Menurut Dedi, meskipun kebijakan memperbolehkan cantrang itu disertai dengan syarat tertentu seperti jaringnya harus memiliki lubang yang besar agar menghindari terjaringnya ikan kecil dan pelanggarnya akan dikenai pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang besar, namun ia ragu kebijakan tersebut akan berjalan konsisten.
“Mana ada di negeri ini yang konsisten dalam kebijakan. Ujungnya akal-akalan. Benur itu kaya bener waktu awalnya, cantrang pun nggak akan beda, karena dirjen di KKP nggak berubah. Itu-itu juga. Cuma ganti menteri doang,” katanya.
Dedi pun mengaku ragu pihak KKP akan memeriksa apakah cantrang tersebut memenuhi syarat seperti memiliki lubang jaring yang besar. Karena menurutnya, baru menghadapi kapal asing saja sudah kewalahan.
“Saya jujur nggak setuju kapal cantrang diperbolehkan lagi. Terserah KKP mau tetap laksanakan. Saya Dedi Mulyadi tak setuju cantrang, apapun saya mau dihujat,dibenci, mangga,” tandas pria yang pernah menjabat sebagai bupati Purwakarta itu.
Penjelasan KKP mengenai izin penggunaan cantrang
Diketahui sebelumnya, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap kembali mengizinkan penggunaan beberapa Alat Penangkapan Ikan (API) yang telah dilarang pada masa kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 71/2016.
Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini menjelaskan, di dalam Permen tersebut, ada beberapa aturan yang berubah. Diantaranya yaitu mengembalikan fungsi cantrang ke ketentuan semula. Pasalnya, sebelumnya cantrang tersebut kerap tidak sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI).
Menurutnya, kembali diperbolehkannya alat tangkap kontroversi ini karena banyaknya nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya di sana. Sementara alat tangkap yang lebih efisien belum tersedia untuk nelayan.
Saat ini nelayan yang tercatat menggunakan cantrang sebanyak 115 ribu orang. Jumlah tersebut pun bukan termasuk pemilik kapal.
Zaini menjelaskan, yang dianggap nelayan kecil bukan hanya mereka yang menggunakan kapal berukuran di bawah 5 GT, melainkan juga para nelayan yang menjadi buruh di kapal-kapal besar hingga 100 GT.
Aturan yang selama ini melarang penggunaan alat tangkap ini, membuat mereka sulit untuk menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan kapal-kapal cantrang tersebut. Terlebih, mereka harus menanggung biaya operasional selama berada di atas kapal.
“Oleh karenanya banyak nelayan buruh yang terlilit utang kepada pemilik kapal. Sehingga inilah yang menjadi konsen kita meningkatkan kesejahteraan nelayan buruh,” sambung Zaini.