Tidak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945!

  • Bagikan

Oleh : Dana Gumilar (KORWIL BPW III ISMPI)


Betapa tidak berdaulatnya bangsa kita di bidang pangan. Hampir semua kebutuhan pangan kita diimpor dari luar negeri: beras, kedelai, kentang, singkong, biji gandum, tepung terigu, jagung, dan lain-lain.

Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia menyebutkan, 65% kebutuhan pangan di dalam negeri didapatkan melalui impor. Sedangkan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) memperkirakan 80% kebutuhan bahan pangan Indonesia diperoleh melalui impor.

Kenyataan itu menunjukkan, Indonesia tak lagi berdaulat di bidang pangan. Kebutuhan pangan rakyatnya saja sebagian besar impor. Padahal, seperti sering didengung-dengungkan, Negara kita adalah Negara agraris. Ya, benar-benar ironis: Negara agraris menjadi pengimpor pangan.

Ada beberapa faktor penyebab kita tak berdaulat di bidang pangan:

Pertama, kaum tani Indonesia, sebagai tenaga pokok dalam produksi pangan, semakin dipisahkan dari alat produksinya, yakni tanah. Sebagian besar tanah-tanah produktif sekarang ini dikuasai oleh korporasi besar (perkebunan, pertambangan, dan lain-lain). Akibatnya, 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani tak bertanah dan petani gurem.

Kedua, kebijakan agrarian kita saat ini sangat liberal dan mirip dengan sistim agraria di jaman kolonial. Di sini, peruntukan tanah bukanlah untuk petani penggarap atau untuk menopang produksi pangan nasional, melainkan untuk melayani kebutuhan tanah bagi pemilik modal di bidang perkebunan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain.

Untuk diketahui, saat ini ada 72 juta petani dengan lahan di bawah 0,3 hektar. Di sisi lain, lahan seluas 9 juta hektar dikuasai 20 perusahaan besar. Data Institut For Global Justice mengungkapkan,  sebanyak 175 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai oleh asing. Perkebunan sawit terhitung menguasai tanah cukup banyak. Hingga tahun 2011, perkebunan sawit sudah menguasai 8 juta hektar tanah. Sekitar 50% perkebunan sawit itu dikuasai asing dan 2 juta hektar diantaranya adalah pengusaha Malaysia.

Ketiga, hilangnya peran Negara dalam melindungi sektor pertanian. Kita bisa melihat, Negara justru mensponsori kebijakan impor pangan. Sebetulnya, kebijakan impor pangan ini bukan semata karena kurangnya stok pangan di dalam negeri, melainkan karena pemerintah Indonesia tunduk pada ketentuan WTO terkait liberalisasi pertanian melalui skema “Agreement on Agriculture (AoA). Impor pangan ini memukul produksi petani. Banyak petani menganggap kegiatan bertani tak legi ekonomis.

Sudah begitu, proses distribusi pangan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing: Syngenta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai pengadaan bibit dan agrokimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM menguasai sektor pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah.  Sedangkan Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co menguasai bidang pengolahan pangan dan minuman. Ini juga termasuk dalam impor pangan. Impor kedelai, misalnya, dikuasai oleh PT Cargill Indonesia dan PT Gerbang Cahaya Utama (GCU). Sedangkan Sedangkan Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco menjadi penguasa pasar ritel pangan.

Sudah jelas, kaum tani Indonesia belum berdaulat. Ini diperparah oleh hilangnya keberpihakan Negara terhadap kaum tani. Akibatnya, kekuatan produktif di dalam negeri tidak bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan “kedaulatan pangan”. Padahal, kekuatan pokok untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah massa-rakyat yang produktif.

Bagi kami, kedaulatan atas pangan hanya mungkin terjadi jikalau Pasal 33 UUD 1945 ditegakkan. Salah satu turunan dari pasal 33 UUD 1945 itu adalah UU Pokok Agraria (UUPA) 1960. Dan salah satu titik tolak dari penegakan UUPA 1960 adalah land-reform atau reforma agraria. Di sini, reforma agraria berarti penghapusan kepemilikan tanah yang tidak adil di tangan korporasi besar dan pengembalian lahan-lahan milik petani yang dirampas korporasi.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera melaksanakan: Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960 secara benar dan konsisten; Hentikan kebijakan liberalisasi impor pangan; menuntut pemerintah untuk memberikan jaminan pasar bagi produksi petani; Dukungan anggaran untuk perbaikan infrastruktur pertanian (waduk, irigasi, dll), dukungan modal/kredit bagi petani, dan modernisasi teknologi pertanian; Penghentian segala bentuk kekerasan dalam penyelesaian konflik agraria; Dan, sebagai solusinya, kami mengusulkan pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.

  • Bagikan