Bank Tanah Bantu Petani Kakao Dapatkan Lahan, Bibit, dan Investor

Peran Badan Bank Tanah dalam Peningkatan Ekonomi Petani Kakao

Badan Bank Tanah (BBT) tidak hanya fokus pada pembagian tanah dalam program reforma agraria, tetapi juga berupaya memastikan bahwa pemberian hak pengelolaan tanah benar-benar mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satu contohnya adalah di Palu, di mana BBT melakukan rekayasa sosial untuk meningkatkan kesejahteraan petani kakao. Tidak hanya menyediakan lahan, BBT juga mencari bibit berkualitas dan bahkan investor yang bisa bekerja sama dengan para petani.

Sekretaris Badan Bank Tanah, Jarot Wahyu Wibowo, menjelaskan bahwa Sulawesi Tengah (Sulteng) merupakan salah satu lumbung kakao terbesar di Indonesia. Dari total produksi nasional sebesar 641 ribu ton, sekitar 146 ribu ton berasal dari Sulteng. Namun, masalah utama yang dihadapi petani adalah kekurangan lahan, bibit, dan pemasaran. “Itu semua menjadi hambatan bagi petani,” ujarnya.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, BBT menyiapkan lahan khusus untuk pengembangan kakao. Selain itu, BBT juga membuat master plan pengembangan kakao yang bertujuan untuk memastikan pengelolaan tanah dapat dilakukan secara efisien. “Lahan disiapkan dari eks HGU yang sudah habis masa penggunaannya,” jelasnya.

Selain itu, BBT juga berupaya mengatasi masalah ketersediaan bibit kakao. Mereka melakukan koordinasi dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk memastikan bibit yang diberikan kepada petani berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan. “Kami akan melakukan MoU atau kesepakatan bersama BPDP untuk penyediaan bibit kakao bagi petani,” tambahnya.

Selain bibit, BBT juga bekerja sama dengan Bank Indonesia Cabang Palu, Kementerian UMKM, dan Pemerintah Provinsi Sulteng untuk membangun ekosistem rantai pasok coklat yang lengkap. Mulai dari penyediaan bibit, sarana dan prasarana hingga mitra investor di bagian hilir. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sistem yang saling mendukung antara petani dan pelaku industri.

Masalah lain yang sering dihadapi petani adalah pemasaran kakao. Menurut Jarot, BBT memiliki tugas untuk memastikan bahwa lahan yang disediakan benar-benar dimanfaatkan dengan optimal. “Hambatan kurangnya investor perlu diatasi, oleh karena itu kami juga mencari investor yang bisa bekerja sama dengan petani,” jelasnya.

BBT tidak hanya berhenti pada penyediaan lahan, tetapi juga melakukan pendampingan dari awal hingga akhir agar industri kakao di Sulteng mampu bersaing secara global. “Semua masalah yang ada kami petakan dan cari solusinya. Tujuan utama kami adalah memastikan bahwa reforma agraria benar-benar mensejahterakan masyarakat,” katanya.

Deputi Bidang Usaha Menengah Kementerian UMKM, Bagus Rachman, menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya hilirisasi kakao di Sulteng. “Kami membantu meningkatkan produksi kakao nasional melalui pilot project di Sulteng,” ujarnya.

Dengan berbagai langkah yang dilakukan, BBT menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan memperkuat sektor pertanian di Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa reforma agraria tidak hanya tentang distribusi lahan, tetapi juga tentang pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Salurkan Donasi

Exit mobile version