Berbagai Kendala yang dihadapi Nelayan Udang Rebon di Bengkalis Riau

  • Bagikan
Nelayan udang rebon sedang mengeringkan udang. (sumber: Mongabay).

Mediatani – Nelayan udang rebon di Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau mengaku mengalami berbagai kendala, termasuk penurunan hasil tangkapan akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.

Dilansir dari Mongabay, Salah seorang nelayan udang rebon di Desa Prapat Tunggal mengatakan penurunan hasil tangkapannya itu disebabkan karena tiba-tiba angin barat datang disaat musim angin utara, sehingga membuat udang ikut berpindah ke arah angin yang diikutinya.

Nelayan lainnya, Sabri mengatakan bahwa menangkap udang di laut memang memperoleh hasil yang tidak menentu. Menurutnya, jika kondisi cuaca bagus, hasil tangkapan bisa mencapai 200 kilo. Untuk harganya, udang rebon kering yang kualitasnya bagus bisa mencapai Rp35 ribu/kg. Sedangkan yang kualitas biasa dihargai Rp12 ribu/kg.

Berdasarkan pengalaman yang dialaminya, ketika musim udang rebon tiba, harganya sering mengalami penurunan yang drastis, yaitu bisa mencapai lebih dari 50 persen.

Selain karena perubahan iklim, abrasi juga menjdi kendala lain yang biasa dihadapi saat ini. Abrasi tersebut membuat tanah masuk ke kantong jaring yang digunakan untuk menangkap udang. Akibatnya jaring rusak, bahkan sering putus karena beban dari tanah abrasi yang masuk.

“Faktor alam cukup mempengaruhi pendapatan. Karena Selat Bengkalis ini langsung berhadapan dengan Selat Malaka yang luas, sehingga abrasi ini menjadi salah satu faktor penghambat juga,” keluh Ishak yang telah 20 tahun menekuni profesi ini.

Menurutnya, pendapatan nelayan juga menurun semenjak ada perusahaan sawit di wilayah tersebut. Diduga, limbah akibat pemupukan sawit itu mengalir ke laut dan membuat jumlah udang rebon menipis. Dia berharap pemerintah terkait dapat memberi solusi terkait permasalahan tersebut.

Udang rebon merupakan salah satu hasil tangkapan laut nelayan di perairan Selat Bengkalis, Desa Prapat Tunggal. Untuk menangkap udang rebon biasanya nelayang menggunakan perahu tradisional berukuran sekitar 3 Gross Tonnage (GT) beserta alat tangkap udang yang disebut kumbang dan pengering dalam bahasa lokal.

Ishak mengatakan, untuk menangkap udang rebon, nelayan tidak terpusat di satu titik saja. Namun, alat tangkap ini biasanya dipasang pada 8 titik. Setelah dipasang, alat tangkap tersebut kemudian dibiarkan dan dijemur di tengah laut agar proses pengeringan lebih cepat.

Dengan menggunakan perahu, jaring udang rutin diperiksa setiap 6 jam sekali atau 3x sehari. Udang yang telah dikeringkan kemudian diayak menggunakan saringan bambu untuk memisahkan antara ikan dan udang rebon. Setelah itu baru dijual ke pengepul.

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis, di Kabupaten ini terdapat kurang lebih 268 Rumah Tangga Perikanan Udang Rebon. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi udang ini mengalami penurunan, bahkan di tahun 2020 hasil produksi hanya sebanyak 412.053 kilogram dari yang sebelumnya di tahun 2019 sebanyak 700.277 kilogram.

Purnomo Widodo, Kepala Sub Bagian Penyusunan Program Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis mengakui saat ini nelayan udang rebon memang mengalami masa sulit. Pemerintah belum mengambil langkah strategis lantaran terbentur dengan Undang-Undang No.23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara.

“Ketika UU ini berlaku kami harus berpindah kesitu sebagai dasar. Karena ini sifatnya nasional kami yang di daerah kepulauan ini agak susah. Itu kewenangannya mungkin ada di provinsi,” ujarnya.

Dia mengaku, pihaknya hanya punya sumberdaya manusia tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk menganggarkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk meningkatkan produksi udang rebon.

  • Bagikan