Mediatani – Kasus Covid-19 yang terus melonjak di Malaysia memaksa Pemerintah di Negeri Jiran tersebut memberlakukan penguncian total (lockdown) dalam beberapa minggu mendatang.
Menteri Pertanian dan Industri Makanan Malaysia, Ronald Kiandee merencanakan berbagai upaya dan persiapan untuk mengamankan seluruh jaringan dan rantai pasokan pertanian dan industri makanan. Hal tersebut dilakukan Menteri Kiandee guna mengantisipasi ketersediaan pangan di negaranya.
“MAFI (Kementerian Pertanian dan Industri Makanan Malaysia) berkomitmen untuk memastikan bahwa jaringan pangan dan rantai pasokan di negara ini tetap stabil, memadai dan terkendali, serta dapat diakses oleh publik setiap saat,” ungkap Kiandee, seperti dilansir dari Channel News Asia.
Menurutnya, pertanian dan perikanan merupakan sektor-sektor pangan yang layanannya penting untuk tetap diizinkan beroperasi selama lockdown dan mengikuti standard operasional prosedur (SOP) yang sesuai dengan ketetapan.
Pada hari Minggu (30/5), Pemerintah Malaysia mengumumkan bahwa selama fase pertama diberlakukannya lockdown, ada 17 sektor jasa penting dan 12 sektor manufaktur yang tetap diizinkan untuk beroperasi.
Lebih lanjut Kiandee menyampaikan bahwa pihaknya akan memastikan setiap kegiatan penanaman dan penggilingan padi tetap berjalan sesuai dengan SOP. Sehingga, produksi dan pasokan beras bisa dipastikan tidak mengalami gangguan.
Sementara sektor pangan lainnya, seperti perikanan, peternakan, perkebunan beserta rantai pasoknya juga akan tetap berjalan seperti biasa. Harapannya, pasokan daging, ayam, telur, dan susu dapat terus mencukupi kebutuhan dalam negeri.
“Pendistribusian beras antara pedagang grosir dan pengecer akan diizinkan beroperasi sesuai SOP, untuk memastikan tidak ada daerah atau distrik yang terputus dari pasokan,” jelas Kiandee.
Terpisah, Kementerian Keuangan Malaysia menyatakan bahwa sangat penting untuk membuka sektor ekonomi tertentu yang berkelanjutan karena hal itu merupakan upaya untuk menjaga kesejahteraan masyarakat dan untuk memastikan kelangsungan rantai pasokan produk dan jasa.
Selain itu, pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk mencegah gangguan pada rantai nilai manufaktur yang dapat membuat kelanjutan produksi barang dan jasa yang masuk ke dalam industri penting menjadi terhambat. Selain makanan, industri penting lainnya adalah peralatan kesehatan dan medis, serta farmasi dan telekomunikasi.
“Belajar dari pemberlakuan MCO 1.0, pemerintah juga mengizinkan rantai nilai terkait barang-barang penting, seperti pengemasan dan pelabelan, untuk beroperasi,” bunyi pernyataan tersebut.
Sementara industri lain yang juga diizinkan untuk tetap beroperasi, yakni industri yang bersifat strategis secara ekonomi seperti industri kedirgantaraan, minyak dan gas, manufaktur, serta sektor listrik dan elektronik.
Indeks pangan Indonesia masih kalah dengan Malaysia
Terlepas dari upaya Malaysia untuk menjaga pasokan pangan di tengah pandemi, Malaysia pada dasarnya memang merupakan salah satu negara yang masih lebih mampu mengurus persoalan pangan dibanding Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya.
Hal tersebut dibuktikan berdasarkan Global Food Security Index (GFSI) yang disusun lembaga riset Economist Intelligence Unit (EIU). GSFI memiliki tugas untuk mengukur tingkat kerawanan pangan negara-negara berdasarkan empat indikator, yakni keterjangkauan, ketersediaan, kualitas, serta faktor sumber daya alam (SDA) beserta ketahanannya.
Dilansir dari Tirto, berdasarkan GFSI tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 113 negara di dunia. Meskipun peringkat ini sudah membaik dibanding tahun-tahun sebelumnya, dimana menempati peringkat ke-65 tahun 2018, 69 tahun 2017, dan 71 pada 2016, namun negara lainnya ternyata lebih cepat memperbaiki kondisi pangan. Pada GSFI 2019, Malaysia mampu menempati posisi ke-28, Thailand ke-52, dan Vietnam ke-54.
Pada 2020, EIU juga menerbitkan Food Sustainability Index (FSI) tahun 2018, dimana Indonesia juga masih tertinggal dalam hal ini. FSI Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 67 negara. Indonesia bahkan jauh tertinggal dari negara lain yang memiliki masalah pangan lebih buruk berdasarkan indikator GFSI, salah satunya adalah Etiopia.