Mediatani – Benih bening lobster (BBL) akhirnya resmi dilarang untuk diekspor. Pelarangan tersebut berlaku sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021.
Meski ekspor BBL dilarang, KKP tetap memperbolehkan masyarakat untuk melakukan kegiatan penangkapan BBL di alam dengan sejumlah ketentuan.
Dilansir dalam laman resmi KKP Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar menjelaskan bahwa penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) atau lobster yang belum berpigmen hanya dapat dilakukan untuk pembudidayaan di wilayah negara RI.
Penangkapan tersebut, sambung Antam, harus memperhatikan berbagai aturan, seperti estimasi potensi sumber daya ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.
Aturan tersebut ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan masukan dan/atau rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
Selain itu, penangkapan ini didasarkan pada kuota dan lokasi penangkapan BBL yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan masukan/rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
Selain itu, aktivitas penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) hanya dapat dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan dan telah ditetapkan.
Sementara untuk Nelayan Kecil yang belum terdaftar dalam Lembaga Online Single Submission (OSS) masih tetap dapat melakukan penangkapan sepanjang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M. Zaini Hanafi menambahkan, untuk mengambil BBL dari alam, nelayan wajib menggunakan alat penangkapan ikan yang bersifat pasif dan ramah lingkungan yang juga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Langkah tersebut, sambung Zaini, agar aktivitas pengambilan BBL ini tidak menganggu keberlanjutan ekosistem laut. Kemudian nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan juga wajib menyampaikan laporan hasil tangkapannya ke pemerintah daerah.
“Nelayan kecil yang menangkap BBL wajib melaporkan hasil tangkapan kepada Dinas setempat untuk selanjutnya dilaporkan kepada direktur jenderal yang menangani tugas teknis di bidang perikanan tangkap,” urai Zaini.
Sementara itu, Plt. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) KKP Tb. Haeru Rahayu menjelaskan, proses selanjutnya setelah Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 terbit, yakni menyusun peraturan amanat dari Permen KP tersebut, berupa keputusan terkait pengaturan pengelolaan di setiap lingkup eselon I KKP.
Di DJPB sendiri, kata Haeru, sedang memasuki tahap akhir proses penyusunan Pedoman Umum Budidaya Lobster, Kepiting dan Rajungan. Dia juga mengajak semua pihak, khususnya para pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengawal implementasi Permen yang diundangkan pada 4 Juni 2021 itu.
“Yang terpenting adalah bagaimana kita bersama-sama mengawal implementasi Permen ini di publik, sesuai dengan tujuannya untuk menjaga keberlanjutan dan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembangan investasi, serta peningkatan devisa negara, dapat tercapai,” ujar Pria yang akrab disapa Tebe ini.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah mengumumkan terbitnya Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Permen tersebut salah satu wujud dari janji Menteri Trenggono usai dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada Desember 2020 lalu.
Menteri Trenggono menekankan sebagai salah satu kekayaan laut Indonesia, BBL harus dimanfaatkan untuk pembudidayaan di wilayah NKRI. Melalui aturan baru tersebut, Menteri Trenggono berharap semua pemangku kepentingan yang terlibat di dalam pengembangan BBL bisa menjadi sejahtera dalam mengelola kekayaan laut berbasis ekonomi biru.