Oleh: Masluki*
Data BKKBN menunjukkan Indonesia satu di antara negara yang menanggung beban bonus demografi pada tahun 2020 – 2030, yang memiliki 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitar 60 juta jiwa, atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3 – 4 orang usia tidak produktif.
Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15 – 64 tahun) mencapai sekitar 70 %, sedang 30% penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun). Parameter usia tersebut didasarkan pada usia kerja produktif sampai usai pensiun untuk pekerja pada instansi pemerintah maupun swasta.
Bonus demografi bagaikan dua mata pisau yang berfungsi ganda, berkah dan bencana. Berkah ketika bonus demografi dapat diserap sebagai lapangan pekerjaan dan bencana ketika usia produktif menjadi pengangguran, disintegrasi bangsa dan terjerembab ke dalam labirin kemiskinan yang tak usai, kurangnya lapangan kerja, kerusakan lingkungan, krisis pangan dan energi.
Keberhasilan pemanfaatan bonus demografi, kita bisa berkaca dari keberhasilan Cina dan Korea Selatan. Cina berhasil membangun industri peralatan elektronik dan teknologi murah sedangkan Korea Selatan berhasil membangun industri telepon genggam dari generasi bonus demografi. Kedua negara ini mampu menangkap peluang bonus demografi dan inovasi teknologi informasi. Inovasi teknologi informasi adalah masa depan penduduk bumi yang dapat menyerap tenaga kerja. Pengembangan inovasi tentunya menciptakan lapangan kerja yang luas.
Keberhasilan Cina dan Korea Selatan dari produknya, yang telah mengekspansi pasar elektronik di seluruh dunia. Jika, Indonesia ingin bertumbuh sebagai negara maju. Indonesia harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pembukaan lapangan kerja, dan kemudahan akses modal dan aset. Selain itu, bonus demografi dapat diserap dalam bidang pertanian dengan pertimbangan bahwa pertanian adalah benteng terakhir dari kemandirian dan ketahanan pangan dan bonus demografi benteng masa depan bangsa. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pertanian kita saat ini.
Realitas Objektif Pertanian
Data sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan petani kelompok umur < 15 tahun 3.297, umur 15 – 24 tahun 229.943, umur 25 – 34 tahun 3.129.644, umur 35 – 44 tahun 6.885.100, 45 – 54 tahun 7.325.544, umur 54 – 64 tahun 5.229.903, dan umur > 65 tahun 3.332.038 jiwa. Berarti 10 tahun kemudian jumlah kelompok umur produktif hanya berkisar 14.443.885 jiwa. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan data sensus pertanian tahun 2003 menempatkan petani dengan jumlah 34.992.000 jiwa.
Menurut Bappenas diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mengalami peningkatan dari 257 juta jiwa pada tahun 2015 menjadi 284,5 juta jiwa pada tahun 2025. Dengan tren 59 % tinggal di perkotaan hanya 41 % yang tinggal di pedesaan pada tahun 2015. Diperkirakan pada tahun 2025 sebanyak 20 % masyarakat tinggal di pedesaan sedangkan di perkotaan 80 %. Dari total jumlah tersebut hanya 5 % adalah petani. Dengan asumsi bahwa tidak ada kehilangan pekerjaan dan alih profesi dari petani ke sektor – sektor yang lain. Sehingga sektor pertanian tidak akan menjadi terdepan seperti pada tahun 80-an dengan jumlah petani mencapai 70 % dari penduduk Indonesia.
Di generasi usia lanjut yang masih bertani sampai saat ini karena tidak ada pilihan lain untuk hidup di desa serta upaya mempertahankan nilai – nilai budaya bertani dari nenek moyangnya hanya tersisa 8.561.941 atau sebanyak 0.24 % yang pada tahun 2025 akan lansia ataupun meninggal berdasarkan angka harapan hidup orang Indonesia dengan usia 73.6 tahun.
Persoalan tersebut bukan hal yang tidak memiliki hubungan kausalitas, sejarah telah mencatat bahwa pangan adalah hidup mati suatu bangsa. Gagalnya politik pertanian dalam mengawal kedaulatan pangan adalah jalan terjal nan curam untuk menyambut era pertanian modern. Modernisasi pertanian melalui gerakan revolusi hijau mencapai keberhasilan hanya bersifat parsial dan temporal. Swasembada beras gagal mempertahankan komoditi unggul spesifik lokasi dan diversifikasi pangan nasional pada era orde baru.
Secara global, modernisasi pertanian melalui gerakan revolusi hijau telah mengubah tatanan sosial, ekonomi budaya masyarakat desa. Hadirnya teknologi sebagai solusi peningkatan produksi dengan logika efisiensi dan efektivitas berdampak pada digantikannya tenaga manusia dan hewan dengan mesin – mesin. Hal tersebut berimbas pada semakin tingginya tingkat pengangguran di pedesaan dan lambat laun mendorong urbanisasi sebagai dalih untuk mencari pekerjaan yang lebih layak di kota.
Dengan hadirnya teknologi, kita tidak dapat berharap banyak bahwa profesi bertani akan padat karya, apalagi dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Persoalan ini pernah menjadi masalah di Jepang, ketika pemuda yang berpendidikan dan berketerampilan tinggi, tidak ingin kembali ke desa untuk membangun pertanian. Bermodalkan kemajuan teknologi dan sumber daya manusia yang handal, Jepang kembali membangun sistem pertanian yang unggul sehingga membawa Jepang pada kedaulatan pangannya.
Di Indonesia, Praktek bertani dan transformasi teknologi di bidang pertanian sangat lambat, khususnya dalam adopsi dan rekayasa teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Menariknya, Visi Pembangunan Pertanian 100 tahun ke depan tetapi dalam prilakunya kita masih berada pada 100 tahun yang lalu. Sebagai contoh, di Bogor sebagai kabupaten yang dianggap paling maju dalam penerapan teknologi pertanian, namun masih sering kita menyaksikan petani membajak sawah dengan tenaga sapi dan cangkul.
Secara nasional, luas lahan sawah pada tahun 2016 sebesar 8,1 juta hektar, faktanya sawah tadah hujan masih berkisar 4 juta ha, masih banyaknya lahan tidur yang tidak dimanfaatkan, penggunaan bibit unggul spesifik lokasi masih terbatas, teknologi pemupukan belum tepat sasaran, ancaman biotis seperti hama dan penyakit yang masih tinggi, manajemen pertanaman masih rendah dan pengelolaan pasca panen masih sangat sederhana serta sistem tata kelola rantai pasok produk pertanian yang masih lemah.
Sejak keberhasilan revolusi hijau membawa swasembada pangan, seakan menjadi mimpi indah era kejayaan pertanian masa lalu. Jika dibandingkan dengan negara – negara yang telah jauh berkembang dalam bidang teknologi pertanian seperti : Autralia, Jepang, Amerika, Belanda, Israel, Malaysia, India dan Thailand.
Pekerjaan bertani merupakan profesi yang dianggap tidak menjanjikan kesejahteraan. Saat produksi meningkat tidak selalu diikuti oleh keuntungan yang didapatkan petani, di sisi lain, saat harga anjlok yang paling merasakan adalah petani. Belajar dari pengalaman, beberapa sumber yang di survei, hampir semua orang tua di negeri ini tidak menginginkan anak – anaknya kelak punya cita – cita jadi petani. Silahkan bercita – cita apapun, kecuali jadi petani seperti orang tuamu.
Bertani serupa dengan pekerjaan yang tidak membutuhkan jenjang pendidikan dan pelatihan yang mumpuni untuk melakukan pekerjaan ini. Bertani merupakan pekerjaan yang identik dengan lumpur, panas dan hujan. Bertani pekerjaan yang tidak pasti dan penuh dengan risiko. Secara matematis menjadi buruh di industri lebih menguntungkan dibandingkan dengan bertani karena masih bisa berpenghasilan dengan standar UMR yang terendah 1,6 juta/bulan.
Di hadapan petani tersedia banyak ancaman kegagalan seperti hama, banjir, kelangkaan pupuk dan harga yang manipulatif. Pada sisi lain peluang untuk meraup keuntungan sangat kecil, saat produksi tinggi dan input faktor produksi yang tinggi pula. Dengan dalih stok banyak, para tengkulak tidak akan segan – segan mempermainkan harga.
Sedangkan komoditi pertanian pada umumnya cepat rusak dikarenakan petani tidak memiliki teknologi pascapanen yang mumpuni. Pilihannya harus segera menjual produk mentahnya dengan harga yang ditetapkan tengkulak untuk menutupi pinjaman biaya produksi, biaya hidup dan keberlanjutan proses budi daya selanjutnya.
Generasi milenial yang hidup dan mengenyam pendidikan di perkotaan yang setiap harinya menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti gudjet lebih mengerti dan paham tentang game online, social network , life style, fashion, pop culture, dan makanan siap saji sebagai ciri dari kids jaman now. Mungkin pemuda ini belum pernah melihat tanaman padi yang merunduk dan menguning, ataupun belum pernah menyaksikan petani membajak sawah di tengah terik panasnya matahari ataupun derasnya hujan meskipun setiap harinya mengonsumsi nasi.
Pemuda milenial seperti inilah diharapkan akan mengisi pembangunan pertanian pada tahun 2025, ironisnya, mereka tidak dipersiapkan untuk kembali ke desa membangun pertanian.
Di hadapan kita, khususnya sektor pertanian, ancaman krisis pangan semakin terbuka lebar. Jumlah penduduk yang terus meningkat namun pada sisi lain produktivitas lahan semakin menurun, alih fungsi lahan semakin meningkat, ancaman kekeringan dan genangan dengan pola perubahan iklim yang tidak menentu, ledakan hama dan penyakit, hilangnya keanekaragaman hayati, kelangkaan pupuk, benih unggul spesifik lokasi, teknologi pasca panen serta alat dan mesin pertanian yang tidak memadai.
Lahan yang tersedia belum mampu dioptimalkan potensi hasilnya. Pada sisi lain, upaya untuk terus – menerus membuka lahan baru ataupun mengonversi lahan komoditi lain menjadi lahan sawah bukanlah tindakan bijaksana. Pada konteks inilah, teknologi seharusnya hadir untuk memberi jalan terang keberlanjutan pertanian. Mengintensifkan lahan yang telah ada melalui teknologi tepat guna dan ramah lingkungan adalah jalan untuk meraih masa depan kedaulatan pangan. Melalui jalan inilah, pemuda akan semakin bergairah dan mengakui bahwa bertani adalah salah satu profesi yang menjanjikan di masa yang akan datang.
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor