Mediatani – Bupati Gunungkidul, Sunaryanta, telah meresmikan program kemitraan ternak ayam Jowo Super (Joper) pada Jumat (4/6/2021), kemarin.
Program ini diketahui merupakan buah kerja sama BMT Dana Insani, Koperasi Wira Usaha Mandiri Gunungkidul, dan PT. Permata Bukit Seribu Nusantara.
Sunaryanta pun mengapresiasi program itu, apalagi mengingat masih tingginya kebutuhan ayam pada tingkat nasional.
“Saat ini baru dapat memenuhi 7 persen dari kebutuhan nasional, sehingga 10 tahun ke depan masih sangat prospektif untuk dikembangkan,” jelasnya, mengutip, Sabtu (5/6/2021) dari laman Bisnis.com.
Panewu Saptosari, Jarot Hadiatmojo, menilai bahwa pandemi Covid-19 ini menjadi momen yang tepat untuk mengembangkan ayam Joper.
Hal itu lantaran, hasil pengembangan unggas tersebut bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat.
Program tersebut pula menargetkan 1.000 orang petani ayam Joper dengan modal awal Rp2.500.000 untuk 100 ekor bibit ayam Joper.
Proses produksi hanya berlangsung selama 2 bulan, sehingga masyarakat dapat merasakan hasil ternak dengan lebih cepat.
Ayam Joper sendiri adalah persilangan dari pejantan ayam kampung dengan betina petelur dari jenis ayam ras. Sejak tahun 1990-an, jenis ayam ini mulai populer untuk dikembangkan.
Meskipun begitu, Wihandoyo, dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), menyebut bahwa pada tahun 2003 populasi ayam kampung dan turunannya sempat mengalami penurunan.
“Munculnya penyakit flu burung berdampak luar biasa pada, termasuk pada ayam Joper. Populasi ayam kampung menyusut hingga 30 persen. Sekarang pun mungkin populasinya masih belum pulih sepenuhnya,” jelas Wihandoyo.
Kehadiran ayam Joper memang menjadi salah satu siasat pelaku bisnis untuk mengatasi kelangkaan daging ayam kampung di pasaran.
Pasalnya, menurut Wihandoyo, proses pengembangbiakan ayam kampung membutuhkan waktu yang lama. “Orang bisnis itu tidak bisa menunggu, makanya pelaku bisnis mencari cara bagaimana mendapatkan ayam kampung secara rutin,” jelas dia.
Karakter daging dan ciri fisik yang tak jauh berbeda dengan ayam kampung, membuat masyarakat memilih ayam Joper sebagai alternatif.
Di samping itu, proses produksi yang hanya dua bulan, atau sekitar 60-70 hari, membuat ayam Joper terus tersedia di pasaran.
Walau menawarkan prospek usaha yang cerah, namun Wihandoyo juga memberikan sejumlah catatan bagi pelaku usaha yang ingin mengembangkan ayam Joper, termasuk Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.
Menurut Wihandoyo, peternak mesti diberikan edukasi tepat soal breeding atau pembiakan ayam Joper, karena karakter ayam Joper menjadi kelebihan utama. Jenis unggas tersebut bisa hilang apabila keturunannya dikawinkan ulang.
Kendala ini membuat sebagian besar peternak ayam Joper memilih untuk melakukan breeding secara mandiri. “Dengan breeding sendiri itu sederhana saja. Dari pengalaman saya, 50 ekor itu produksinya kira-kira 70 persen sehari 35 butir. Kita tetaskan itu, umur telur jangan lebih dari 7 hari. Itu sudah menghasilkan 200 telur lebih. Kalau daya tetas peternak mencapai 70 persen, kita sudah dapat 140 ekor ayam Joper,” jelasnya.
Kapasitas produksi daging ayam kampung di Yogyakarta sekitar 5.000 ton per tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama tiga tahun terakhir angkanya berkisar di 5.672 ton pada tahun 2018, 5.260 ton pada 2019, dan 5.317 ton pada tahun lalu.
Meski terlihat menjanjikan, BPS mencatat bahwa secara kumulatif Nilai Tukar Petani (NTP) Peternakan di DI Yogyakarta terus mengalami penurunan.
Pada 2019, angkanya berada di 95,29 poin, sementara di tahun 2020 angkanya di 92,84 poin. Angka tersebut menunjukkan bahwa nilai jual yang diterima peternak masih belum sebanding dengan nilai yang dikeluarkan.
Peternak masih mengalami kerugian. Diperlukan sejumlah langkah strategis untuk memastikan dampak positif pengembangan ayam Joper bagi perekonomian masyarakat.
Salah satunya adalah dengan memastikan kualitas sumber daya manusia yang melakukan usaha peternakan. “Kita harus punya tenaga yang terampil, itu yang jadi kendala,” pungkasnya. (*)