Curah Hujan Tinggi, Petambak Rumput Laut di Bone Beralih ke Ikan Nila

  • Bagikan
Petambak rumput laut beralih membudidayakan ikan nila. (Sumber: Mongabay)

Mediatani – Petambak rumput laut Glacilaria sp. di Desa Latanro, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan mengalami kesulitan akibat konsentrasi air tawar yang semakin tinggi di dalam tambak. Hal itu disebabkan karena curah hujan terus meningkat dalam 5 tahun terakhir.

Menyiasati kondisi tersebut, warga mencoba membudidayakan ikan nila (Oreochromis niloticus), yang diketahui memang dapat berkembang dengan baik di air tawar. Ikan nila ini juga dianggap sebagai salah satu ikan yang bagus dipelihara untuk perbaikan kondisi tambak.

Ikan nila yang dibudidayakan itu dinilai dapat menjadi salah satu solusi efektif bagi petambak untuk mendapatkan penghasilan tambahan saat tambak mereka tidak dapat digunakan untuk budidaya rumput laut.

Salah satu yang melakukan hal tersebut adalah Abu Bakar, petambak yang juga merupakan Kepala Desa Latonro. Di tambak rumput laut milikinya, ia membudidayakan ikan nila yang saat ini telah mencapai ukuran sebesar tiga jari.

“Ikannya sudah seperti ini, pertumbuhannya bagus-bagus,” katanya, dilansir dari Mongabay, Senin, (3/5/2021).

Saat musim hujan tiba, tambak miliknya tak dapat digunakan untuk budidaya rumput laut. Menurutnya, hal tersebut biasanya terjadi dari bulan April hingga Agustus.

Curah hujan yang lebih tinggi ini mulai terjadi sejak 5-6 tahun terakhir. Selain di Desa Latonro, kondisi tersebut juga terjadi di daerah danau Tempe, hulu sungai Walanae.

“Kalau curah hujan di danau Tempe tinggi maka air sungai menjadi lebih tawar sehingga tidak bisa digunakan untuk tambak, air tawar akan lebih mendominasi dibanding air asin,” ungkapnya.

Petambak lainnya, Ilham menceritakan bahwa meskipun air tawar ini bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan MCK, namun di sisi lain kondisi air sungai yang tawar justru menjadi masalah bagi tambak.

“Dalam kondisi ini kami biasanya mengambil air dari desa sebelah. Tapi kalau harus memilih, kami lebih memilih krisis air tawar ini dibanding air asin. Tidak masalah harus mengambil air dari jauh,” tutur Ilham.

Menurut Abu Bakar, masyarakat pernah mengatasi krisis air asin di musim hujan dengan membuat saluran pipa untuk mengalirkan air asin dari laut ke tambak.

Namun, upaya tersebut kurang maksimal karena pipa-pipa mudah rusak karena serangan tiram. Upaya lain yang juga diakukan yaitu membuat sumur bor di tambak untuk mengambil air asin dari bawah, namun airnya didapatkan justru tawar.

“Kami juga pernah menaburi berkarung-karung garam ke dalam tambak agar airnya lebih asin, namun cara ini juga kurang begitu berhasil,” tambahnya.

Menurutnya, salah satu upaya yang juga cukup efektif adalah dengan menggunakan pompa air untuk mengambil air dari laut. Namun, cara ini membutuhkan biaya yang cukup besar dan pompa tersebut tak mampu dibeli oleh semua petambak

Sebenarnya, lanjut Abu Bakar, solusi pompa air ini bisa dilakukan melalui bantuan dari Pemdes, namun lemahnya kelembagaan di desa, yang membuat tidak adanya jaminan jika bantuan tersebut tidak dialihkan untuk hal yang lain.

“Tak ada jaminan mesin untuk pompa air ini benar-benar digunakan untuk tambak, bisa jadi malah digunakan untuk perahu. Ini masalah mental petambak kita juga sebenarnya,” katanya.

Mengenai masalah kelembagaan ini, Idham Malik, Aquaculture Specialits WWF Indonesia, menyarankan agar masyarakat dapat membentuk suatu kelembagaan atau kelompok tani/nelayan yang  berakar dari bawah atau dalam artian bukan bentukan dari pemerintah.

Menurutnya, jika lembaga tersebut dibentuk sendiri oleh masyarakat maka akan ada rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap kelompok, bukan lagi sekedar menunggu arahan dari pemerintah ataupun dari penyuluhnya untuk bisa lebih terlibat.

Terkait solusi budidaya ikan nila yang ditawarkan WWF, Idham mengatakan upaya tersebut diberikan agar petambak bisa memperoleh penghasilan tambahan ketika tambak tak layak digunakan untuk budidaya rumput laut Glacilaria.

Lebih lanjut Idham mengatakan bahwa ikan nila ini merupakan komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan, apalagi memiliki pasar yang masih terbuka luas dan cara budidayanya juga sederhana. Setidaknya, tambahnya, para petambak bisa mengisi kekosongan tambak ketika musim hujan.

“Namun untuk mendorong budidaya ikan nila ini sebagai alternatif ekonomi ini mereka perlu diyakinkan dan dibantu, bisa dengan penyediaan bibit ataupun dengan pendampingan teknis budidaya,” kata Idham.

  • Bagikan