Curhat Anak Petani Jahe, Hasil Panen Orang Tuanya Tak Laku Akibat Impor

  • Bagikan
Jahe petani

Mediatani – Impor jahe yang belakangan ini dilakukan pemerintah membuat harga jahe produksi petani menjadi anjlok. Hal tersebut merugikan petani karena hasil panen jahenya tak laku di pasaran akibat bersaing dengan jahe impor.

Kejadian ini telah membuat pilu hati Layla Saragih, seorang anak petani jahe di Sumatera Utara (Sumut). Melalui akun Twitternya @layla_saragih, ia menceritakan kisah orang tuanya yang mengalami kerugian akibat impor jahe yang tak terbendung.

Dalam cuitannya di Twitter, ia mengungkapkan bahwa jahe-jahe hasil panen orang tuanya tak laku di pasaran karena harus bersaing dengan jahe impor. Akibatnya, harga jahe pun hanya menjadi hanya Rp 3.500/Kg.

Layla menyatakan permohonannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kebijakan impor jahe tersebut dan memprioritaskan produksi petani. Pasalnya, biaya yang dikeluarkan petani sejak menanam, bukanlah biaya yang sedikit.

“Dan juga minta tolong impor jahe dihentikan dahulu Pak. Kita prioritaskan produk dalam negeri. Kasihan petani, Pak. Harga pertanian anjlok, tapi (harga) pupuk-pupuk tinggi sekali,” kata Layla dalam cuitannya.

Dilansir dari Detik, Layla menjelaskan bahwa kondisi lahan orang tuanya saat ini sudah waktunya untuk memanen jahe. Namun, orang tuanya tak mau memanennya lantaran anjloknya harga yang ada di pasaran, bahkan untuk dijual pun sulit.

“Jahenya dibiarkan di lahan saja,” tutur Layla, Rabu (7/4/2021).

Jahenya yang tak bisa dijual dengan harga yang sesuai itu membuat orang tua Layla harus menanggung rugi. Sebab, saat menanam jahe, orang tuanya menggunakan modal yang diperoleh dari pinjaman kredit usaha rakyat (KUR). Hingga akhirnya, pinjaman tersebut kini tidak sanggup dibayar orang tuanya karena hasil panen jahenya tak laku.

“Sudah rugi, karena tenaga memongkar lagi. Jadi modal pinjaman untuk biaya bertani itu kemarin pinjam dari KUR. Niatnya bisa menutup (pinjaman) dengan hasil panen jahe. Tapi ini jahe nggak laku, pinjaman KUR menunggak,” terang Layla.

Untuk menanam jahe, lanjut Layla, orang tuanya membutuhkan modal berkisar Rp 50-60 juta. Modal itu juga sudah digunakan untuk merawat jahe sampai panen, termasuk untuk membeli bibit 5 rantai. Tunggakan tentunya hanya bisa dibayar dari hasil bertani.

“Kita bisa bayangkan petani menunggak Rp 50 juta bagaimana. Kalau bukan dari hasil tani yang diharapkan,” paparnya.

Layla menjelaskan bahwa dia dan orang tuanya sudah bingung mencari cara untuk melunasi utang yang dipakai sebagai modal menanam jahe tersebut.

Layla berharap pemerintah bisa membantu petani dengan menyalurkan jahe-jahe hasil panen berlebih dari petani di Sumut ke daerah lain. Dengan meratanya pasokan jahe tersebut, impor tak perlu lagi dilakukan.

“Yang buat jengkel itu harga di luar Sumut masih Rp 25.000-35.000/Kg. Kan bisa dibantu distribusi ke luar pulau agar bisa diserap kota lain, daripada masukkan jahe impor,” tegas Layla.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), jahe yang diproduksi petani dalam negeri sebenarnya masih surplus.

Produksi jahe dalam negeri pada tahun 2019 mencapai 174.380 ton dengan kebutuhan 142.110 ton, sehingga ada surplus sebanyak 3.391 ton. Kemudian, pada tahun 2020 produksi jahe dalam negeri naik menjadi 183.518 dengan kebutuhan 144.450 ton, yang berarti surplus 9.585 ton.

Bahkan, dengan terjadinya surplus tersebut, Indonesia bisa mengekspor jahe pada tahun 2019 dan 2020, dengan volume masing-masing, yakni 4.445 ton dan 2.188 ton.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI pada Rabu, (31/3/2021) lalu, membenarkan bahwa memang tercatat ada ekspor pada tahun 2019 dan 2020.

” Sehingga secara neraca kebutuhan jahe nasional sebetulnya dari dalam negeri sudah cukup,” kata Prihasto Setyanto.

Sementara itu, seorang eksportir jahe yakni Direktur Utama PT Mahan Indo Global Jaiprakash Soni mengungkapkan bahwa dirinya sudah rutin melakukan ekspor jahe ke Bangladesh selama 12 tahun lamanya.

Namun, untuk tahun 2021 ini, dirinya baru melakukan impor jahe karena tingginya permintaan dalam negeri di tengah pandemi COVID-19.

“Kita impor kontainer jahe di Surabaya. Kita biasanya ekspor, tidak pernah impor. Tapi bulan Januari 2021 ini ada permintaan dari lokal cukup banyak, jahe kurang di Indonesia,”ungkapnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan bahwa impor jahe mengalami lonjakan sejak 2018 lalu. Pada tahun 2017, jahe yang diimpor hanya 53 ton. Lalu, pada tahun 2018 naik 7172% menjadi 3.886 ton.

Kemudian, pada tahun 2019 impor jahe naik menjadi 460% dibandingkan 2018 menjadi 21.782 ton. Pada tahun 2020, impor jahe telah mencapai 19.252 ton, atau turun tipis (11,63%) dibandingkan 2019.

  • Bagikan