Mediatani – Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako jenis premium atau asal impor, mulai dari daging hingga beras. Namun, ternyata jumlah daging premium yang dikonsumsi masyarakat tak besar sekitar 4% dari kebutuhan.
Melansir dari CNBC Indonesia, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Suhandri mengatakan bahwa komoditas premium hanya 4% dari total kebutuhan daging.
“Konsentrasi pasar komoditas premium nggak besar, hanya 4% dari total kebutuhan daging,” ungkap Suhandri, Rabu (16/6/21).
Angka tersebut merupakan persentase dari jumlah daging sapi yang beredar di Indonesia. Dimana berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi daging secara nasional mencapai sekitar 700 ribu ton.
Nilai tersebut diperoleh dengan memperhitungkan angka konsumsi daging per kapita per tahun sebesar 2,56 kg, kemudian dikalikan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa.
“Jika kita hitung kebutuhan 700 ribu ton, 4% kurang lebih 28 ribu ton. Impor kita nggak besar juga. Itu kondisi normal 4%, jangan-jangan karena pandemi sekarang sudah ke 3%. Pasarnya nggak besar, jadi kita harus berhati-hati juga, karena 4% berapa sih nilainya,” tutur Suhandri.
Terkait rencana sembako premium yang akan dikenakan PPN, pengimpor mengaku setuju dengan rencana pemerintah tersebut. Alasannya, jika daging segmen ini dikenakan pajak, maka hal tersebut tidak akan berpengaruh besar terhadap daya beli kalangan menengah ke atas dan juga akan memenuhi aspek keadilan.
Suhandri mengaku bahwa dirinya tidak masalah dengan rencana itu. Pasalnya, pajak yang mengarah kepada masyarakat kalangan menengah ke atas itu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap daya beli produk import.
“Pengaruhnya untuk pasar premium nggak ada, misalnya beli daging harga Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta, ditambah PPN 12% katakan Rp 160 ribu atau Rp 200 ribu lebih misalnya, buat pasar premium nggak begitu pengaruh. Nggak pernah konsumen kelas atas makan dia nanya harga berapa,” ungkapnya.
Kondisi yang berbeda akan terjadi jika rencana ini mengarah pada konsumen kelas bawah yang ada di pasar tradisional. Jika awalnya harga daging sapi di pasar tradisional segarga Rp130 ribu, maka dengan dikenakannya PPN harganya naik menjadi Rp 150 ribu/Kg. Tentunya hal ini dapat menimbulkan gejolak di konsumen.
Walaupun mengaku tidak masalah terkait rencana PPN, pengimpor daging sapi memerlukan petunjuk teknis yang jelas tentang pelaksanaannya di lapangan. Mulai dari harga berapa daging sapi dikenakan PPN, hingga impor dari negara mana saja yang akan dikenakan PPN.
Hal tersebut dibutuhkan demi meminimalisir potensi kesalahan proses audit serta pengiriman produk import.
“Karena impor berhubungan dengan HS code dan harga. Berapa batasan harganya yang kena PPN, apa dibuat US$ 15, US$ 20, atau US$ 30, harus jelas. Kemudian contoh di Indonesia ada produsen sapi Wagyu, karena lokal apa dia nggak kena PPN. Ini kan harus jelas,” tutur Suhandri.
Perlu diketahui jika jenis daging sapi ini telah menjadi incaran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar dikenakan pajak. Daging sapi lain yang termasuk jenis premium juga akan dikenakan PPN.
“Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa,” jelasnya.
Tentunya semua elemen masyarakat mengharapkan agar pengaplikasian PPN ini dapat dilakukan dengan adil dan sesuai dengan kemampuan masyarakat.