Dari Desa ke Devisa: Peran Sawit yang Mengubah Negeri

Mediatani | Industri kelapa sawit memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kontribusinya terhadap perekonomian nasional, penguatan wilayah pedesaan, serta bantuan bagi ketahanan energi dan pangan layak mendapat perhatian yang besar.

Potensi yang besar menunjukkan bahwa kelapa sawit bukan hanya sekadar komoditas, tetapi juga aset strategis negara yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Pengembangan produk turunan kelapa sawit memiliki dampak yang besar dan berbagai dimensi. Selain meningkatkan nilai tambah nasional serta pendapatan petani secara signifikan, kelapa sawit memperkuat kemandirian ekonomi daerah melalui peningkatan nilai lokal dan pengadaan kesempatan kerja, hingga mendorong ekspor barang jadi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan devisa dari ekspor produk kelapa sawit mencapai 27 miliar dolar AS sepanjang tahun 2024. Angka ini membuatnya menjadi sumber terbesar dari sektor pertanian terhadap neraca perdagangan Indonesia.

Sawit berkontribusi sekitar 11 persen terhadap total ekspor nonmigas negara. Meskipun jumlah ekspor menurun, permintaan dalam negeri yang tinggi—khususnya untuk kebutuhan energi dan pangan—menunjukkan peran penting sawit dalam perekonomian nasional.

Dari segi tenaga kerja, sektor kelapa sawit menyerap lebih dari 16 juta pekerja, di mana 2,4 juta di antaranya merupakan petani mandiri.

Di kawasan sentra kelapa sawit, komoditas ini telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perkembangan infrastruktur desa terjadi, usaha mikro dan kecil berkembang, serta pasar lokal semakin berkembang pesat.

“Kelapa sawit bukan hanya komoditas ekspor. Ini adalah tulang punggung perekonomian Indonesia,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung dalam pernyataan tertulis kepada Mediatani, Minggu (24/7/2025).

Hilirisasi jadi kunci

Gulat menyampaikan bahwa hilirisasi menjadi kunci agar nilai tambah dari kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh sejumlah kecil pemain besar, tetapi juga para petani kecil di desa.

“Penyederhanaan industri kelapa sawit bukan hanya tentang bisnis, tetapi membangun dasar keberlanjutan jangka panjang bagi seluruh rantai nilai, mulai dari petani hingga industri pengolahan,” tambahnya.

Jika dilaksanakan secara menyeluruh, manfaat hilirisasi dapat meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit masyarakat serta memperkuat sektor industri nasional secara keseluruhan.

Ia mencontohkan, pembangunan pabrik mini oleh petani kelapa sawit, khususnya petani kecil, mampu meningkatkan nilai tambah hingga lima kali lipat.

Maknanya, petani tidak hanya menjual minyak kelapa sawit mentah ataucrude palm oil(CPO), tetapi juga memprosesnya menjadi barang yang menawarkan margin yang jauh lebih besar.

Di wilayah Papua Barat, misalnya, tidak adanya pabrik pengolahan menyebabkan kerugian bagi petani hingga Rp 30 miliar setiap tahun. Namun, ketika sebuah pabrik kecil berdiri, harga jual meningkat, jumlah pekerjaan lokal bertambah, dan perekonomian desa menjadi lebih dinamis.

Di Riau, 84 persen pendapatan petani kelapa sawit digunakan untuk berbelanja di pasar setempat. Beberapa fasilitas umum, seperti jalan desa dan pelabuhan kecil, diperbaiki berkat kegiatan industri kelapa sawit.

Selain itu, aktivitas hilirisasi lokal juga mendorong berkembangnya usaha jasa, logistik, kuliner, serta perdagangan alat pertanian.

Berdasarkan data dari Institute Kebijakan Strategis Agribisnis Kelapa Sawit (PASPI), pendapatan daerah bruto (PDRB) di kawasan sentra kelapa sawit mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah non-sentra.

“Desa yang memiliki akses ke hilirisasi lebih mampu bertahan terhadap perubahan harga global dan memiliki perekonomian yang lebih stabil,” kata Gulat.

Upaya ini akan membantu penyerapan tenaga kerja setempat, mendorong investasi di sektor nyata, serta meningkatkan kontribusi kelapa sawit terhadap nilai produk domestik bruto (PDB) nasional.

Di sisi kebutuhan pangan, kelapa sawit menyediakan minyak goreng yang digunakan oleh hampir seluruh rumah tangga di Indonesia. Selain itu, berbagai produk turunan, seperti mentega, cokelat, dan makanan ringan, juga mengandalkan kelapa sawit.

Berdasarkan data dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP), sektor pangan menghabiskan sekitar 10–11 juta ton minyak kelapa sawit per tahun.

Mendukung ketahanan energi nasional

Di sisi lain, dalam sektor energi, program biodiesel B30 hingga B40 wajib menyedot lebih dari 12 juta ton kelapa sawit. Inisiatif ini juga berhasil menghemat devisa negara hingga 36,9 miliar dolar AS dari impor solar.

BPDP mencatat peningkatan distribusi biodiesel dari 7,3 juta kiloliter pada tahun 2020 menjadi 13,1 juta kiloliter pada tahun 2024. Angka ini diperkirakan akan mencapai 13,9 juta kiloliter pada tahun 2025.

Kepala Perencanaan, Pengumpulan, dan Pengembangan Dana BPDP Lupi Hartono menyampaikan bahwa pihaknya sedang memperluas perhatian dari hanya penyerapan CPO melalui biodiesel ke penguatan sektor hilir yang berbasis penelitian dan pengembangan.

Kami mendanai penelitian mengenai produkbio-hydrocarbon fuel, bioplastik, bahan bakar avtur biologis, bahkan helm dari tandan kosong kelapa sawit,” kata Lupi.

Pada tahun 2024, hanya 7 persen ekspor kelapa sawit masih berbentuk CPO, sedangkan sisanya merupakan produk turunan. Hal ini mencerminkan arah kebijakan yang mendukung hilirisasi serta peningkatan nilai tambah.

Program Reboisasi Kelapa Sawit Rakyat (PSR) juga dipercepat untuk mengganti tanaman tua dengan benih berkualitas tinggi guna meningkatkan hasil produksi dan keberlanjutan.

“Kami berharap kelapa sawit menjadi fondasi ekonomi yang stabil, bukan hanya sebagai barang dagangan jangka pendek,” kata Lupi.

Salah satu arah inovasi yang sedang dikembangkan adalah pengolahan limbah kelapa sawit menjadi produk ramah lingkungan. Tandan kosong, misalnya, dapat diolah menjadi bioetanol, bahan biodegradable, dan komposit teknologi.

“Kami mendukung pilot project refinery untuk bio-hydrocarbon fueldengan RON 110 dari minyak kelapa sawit,” jelas Lupi.

Apkasindo juga menyoroti peran penting para petani dalam proses transisi energi ini.

“Kami mendorong santripreneur yang berbasis kelapa sawit. Ini bukan hanya energi hijau, tetapi juga ekonomi hijau yang memberdayakan,” kata Gulat.

Dengan roadmaphilirisasi yang menyeluruh dan investasi teknologi yang mendukung petani, kelapa sawit dapat menjadi fondasi energi baru dan sektor pangan di masa depan.

Meskipun sering menjadi target kampanye negatif di tingkat internasional, sektor kelapa sawit nasional memiliki kondisi yang berbeda.

Berdasarkan pendapat Gulat, banyak negara menginginkan kesempatan untuk menanam kelapa sawit karena tingginya hasil produksi dan penggunaannya yang luas.

“Tanggung jawab kami adalah mengelola dengan bijaksana dan menyampaikan cerita yang adil,” katanya.

Lupi menegaskan bahwa BPDP secara aktif memperkenalkan #SawitBaik dalam ajang internasional serta mendukung sertifikasi berkelanjutan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Selain itu, bimbingan teknis terhadap petani dan UMKM terus ditingkatkan agar sektor ini semakin menyeluruh.

Karena itu, hilirisasi bukan hanya strategi industri, tetapi juga bagian dari visi besar Indonesia Emas 2045.

Mengandalkan kelapa sawit sebagai komoditas bernilai tambah, Indonesia mampu memperkuat kemandirian ekonomi, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, serta menciptakan desa yang mandiri.

Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan perubahan regulasi, keterpaduan kebijakan antarlembaga, serta komitmen dalam menjadikan petani sebagai pelaku utama, bukan hanya sebagai objek pembangunan.

“Sawit merupakan anugerah. Jika dikelola dengan tepat, ini dapat menjadi berkah ekonomi, energi, dan ekologi bagi Indonesia,” tambah Gulat.