Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2003 sebesar 15,2 persen. Angka itu berangsur menurun satu dekade kemudian menjadi 13,5 persen. Adapun Sensus Pertanian 2003 (ST 2003, BPS) menunjukkan rumah tangga petani (RTP) yang semula berjumlah 31,23 juta turun pada ST 2013 menjadi 26,13 juta atau turun 16,3 persen ketimbang sepuluh tahun.
Data itu menunjukkan adanya transformasi struktural perekonomian Indonesia, atau proses transformasi dari negara agraris menuju industri. Sektor industri dan jasa semakin tumbuh berkontribusi besar dan secara berangsur menggantikan dominasi sektor pertanian.
“Proses transformasi ekonomi ini wajar dan semestinya memang begitu. Sebagian negara maju pun dulunya juga negara agraris dan bertransformasi menjadi negara industri dan jasa,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Suwandi, belum lama ini.
Lebih lanjut Suwandi mengatakan, dalam kurun sepuluh tahun (2003-3013) terjadi penurunan 5,1 juta RTP atau setara 21 juta anggota petani. Meski demikian, transformasi struktural itu tidak serta-merta menjadikan pertanian ditinggalkan. Dalam kondisi tertentu, pertanian menjadi tumpuan akhir ketika di sektor lain terjadi masalah. Contohnya ketika krisis ekonomi 1998, pertanian tetap tumbuh dengan menyerap banyak tenaga kerja.
Kondisi tenaga kerja pertanian inilah, kata Suwandi, yang merisaukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. “Mesti dipastikan tenaga kerja yang keluar dari pertanian tertampung ke sektor lain. Mereka harus diselamatkan memperoleh pekerjaan layak sehingga memiliki penghasilan untuk dapat akses pangan,” ujarnya.
Petani, kata Suwandi, harus move on, tidak saja bekerja di on-farm, tetapi juga bergerak ke sektor hilir.
“Hilirisasi inilah yang akan menyelamatkan jutaan petani di perdesaan menjadi sejahtera.” (Media Indonesia)