Mediatani – Saat kebanyakan petani masih ragu dengan pertanian organik, Dedi Mulyadi pemuda asal Pringkasap, Kecamatan Pabuaran Kabupaten Subang malah sukses mengembangkan beras organik di kampung halamannya.
Dilansir dari Tribun, bahkan hasil jerih payah Dedi tersebut dapat memancing mahasiswa jurusan pertanian dari berbagai negara mengunjungi kediamannya untuk keperluan studi banding. Bukan hanya itu, pemuda ini sebelumnya juga telah menaikan harga jual hasil produksi pertanian di Pringkasap.
“Saya melihat para petani murung karena penurunan kualitas kesuburan lahan pertaniannya, padahal air irigasi selalu mengalir. Tapi ratusan hektare sawah disini tidak bisa panen maksimal,” ungkap Dedi Mulyadi (1/8/2021).
Pria 30 tahun tersebut merupakan salah satu lulusan terbaik IPB jurusan Teknologi Produksi dan Pengembangan Masyarakat Pertanian (TPPMP). Tidak ingin hasil belajarnya sia-sia, Dedi bersama rekannya lalu menawarkan solusi kepada para petani.
“Saya tawarkan solusi lewat penggunaan Pupuk Organik Hayati (POH) DEKA, fungsinya untuk mengembalikan kesuburan tanah, dan menerapkan pertanian organik,” ujarnya.
Kemudian Dedi membentuk Komunitas Petani Organik Paguyuban Bumi Mandiri yang melibatkan 54 orang petani. Perlahan namun pasti, mereka dapat menerapkan prinsip pupuk organik yang ramah lingkungan di lahan pertanian seluas 41 hektare.
“Saya berpikir bagaimana cara mengatasi masalah-masalah tersebut, bagaimana mengurangi biaya produksi kemudian meningkatkan nilai jual, dan secara otomatis akan menaikkan pendapatan petani juga,” tambahnya.
Usaha tersebut sudah dimulai Dedi sejak November 2012 silam, dan kini para petani mulai mendapatkan hasil panen yang berkualitas dan juga kenaikan penghasilan signifikan.
“Produk beras organik Pringkasap yang kita hasilkan terdiri dari beras putih, beras merah, dan beras hitam, harga jual saat ini antara Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu perkilogram, harga tersebut jauh dibanding harga eceran rata-rata,” jelas Dedi.
Selain berbicara tentang hasil pertanian organiknya, Dedi juga mengatakan harapannya agar bisa mewujudkan mimpinya untuk menciptakan sistem pertanian organik terintegrasi atau Integrated Organic Farming System (IOFS)
Dedi mengatakan bahwa mimpi besarnya tersebut merupakan langkah positif dalam mengatasi ketersediaan pangan di masa pandemi.
“Pertanian yang terintegrasi dalam satu wilayah merupakan solusi utama. Jadi bukan hanya fokus dalam sektor pertanian, melainkan ada sentra olahan dan peternakan yang terintegrasi juga,” jelas Dedi.
Saat ini Dedi telah menciptakan miniatur IOFS di desanya. Berbagai jenis beras, olahan, dan peternakan yang terintegrasi telah berjalan di Pringkasap, bahkan bagi masyarakat, lahan tersebut sudah menjadi mata pencaharian.
“Berbagai jenis beras kami sudah ada, dari beras putih, beras merah, beras hitam, cokelat sampai beras olahan Jepang Japonica juga ada. Kami juga punya peternakan magot,” ujar Dedi.
Bukan hanya itu, beras organik yang dihasilkan saat ini telah memiliki sertifikat Inofice (Indonesian Organic Farming Certification).
Hal tersebut menjadi sebuah alasan yang membuat para peneliti dan pengusaha, serta mahasiswa mancanegara datang menemui Dedi di Subang untuk keperluan study.
“Pada 2018 ada pengusaha dari Jepang datang untuk melihat proses bertani beras organik Pringkasap ini. Selain itu petani dan pengusaha asal Brasil juga pernah datang dan melakukan hal yang sama,” ungkapnya.
Meski demikian, Dedi berharap agar dapat menerapkan sistem tersebut minimal dalam skala Kabupaten.
“Saya sih berharap kalau sistem pertanian terintegrasi ini bisa diterapkan skala wilayah Subang, miniaturnya disini sudah berjalan,” tutur Dedi.
Menurut Dedi, melalui sistem pertanian tersebut kebutuhan pangan secara kewilayahan dapat terpenuhi dan harga jual hasil taninya pun tidak jatuh.
“Kami masih berusaha, saya kira semua ini juga perlu dukungan berbagai pihak termasuk pemerintah. Kedepan saya berharap pemerintah juga menyambut dan mendukung upaya ini,” ujar Dedi.