Dosen IPB Soroti Pembangunan Perikanan yang Belum Maksimal

  • Bagikan
Hasil penangkapan nelayan.

Mediatani – Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr Yonvitner menyebut bahwa pembangunan perikanan dan kelautan di Indonesia harus dilaksanakan dalam sebuah frame ekonomi yang kuat dan berbasis ilmu pengetahuan.

“Menjadi besar dan penghela ekonomi bangsa perlu energi besar bagi perikanan kelautan ke depan. Maka untuk itu, setidaknya pembangunan perikanan kelautan harus dalam framing industri perikanan dan kelautan yang berkemajuan,” ujar Dr Yonvitner yang saat ini juga menjadi Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University seperti dikutip dari siaran pers Biro Komunikasi IPB University, Rabu (3/2).

Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjutnya, harus diawali dengan penyediaan data yang presisi, sumberdaya manusia perikanan yang mumpuni dan teknologi yang adaptif. Selain itu, menurutnya sektor perikanan dan kelautan juga membutuhkan kehadiran seorang pemimpin yang cakap, kuat, tegas dan memiliki visi ekonomi yang tajam serta humble dengan nelayan.

Menurutnya, Presiden harus memahami hal tersebut, jika benar-benar ingin membangun dan memajukan sektor perikanan dan kelautan sebagai prime mover ekonomi bangsa.

Dr Yonvitner juga menyoroti potensi perikanan dan kelautan yang belum dikelola secara maksimal. Menurutnya, Indonesia memiliki lebih dari 12.5 juta ton potensi perikanan dan lautan, bahkan diperkirakan angka tersebut bisa lebih besar lagi apabila praktik illegal fishing, transhipment, kerusakan karang dan mangrove serta degradasi lingkungan dapat dikurangi atau dihilangkan.

Akan tetapi, karena banyaknya dugaan dan realitas yang sangat jauh perbedaannya, angka tersebut seakan hanya menjadi sebuah misteri. Sebab, menurutnya, jumlah hasil tangkapan dan jumlah kapal yang diizinkan masih belum mampu dijawab oleh potensi tersebut.

“Seolah ada keraguan jika penilaian yang dilakukan overshot atau undershot ketika izin diberikan,” tandasnya.

Lebih lanjut Yonvitner mengatakan, apabila ke depan industri di sub sektor perikanan tangkap dibangun dengan multi spesies maupun single spesies, maka intervensi kebijakan perizinan kapal harus lebih terukur. Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan agar UMKM dan industri pengolahan perikanan lainnya tidak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku.

“Jangan sampai ketika izin diberikan, malah kita masih kesulitan bahan baku untuk 6500-an UMKM dan 630-an industri perikanan kita,” tegasnya.

Menurutnya, kondisi yang terjadi saat ini, dimana kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan yang tidak kunjung membaik menjadi indikator bahwa bahan baku sebenarnya tidak begitu besar, atau nelayan yang tidak mampu menangkap dengan maksimal. Karena logikanya, meski potensi melimpah, tanpa menambah upaya, maka hasil tangkapan dari nelayan eksisting juga tidak akan meningkat begitu juga kesejahteraan.

“Jika peningkatan nilai tukar nelayan yang dijadikan indikator kesejahteraan yang digambarkan naik, memaksa kita harus melakukan kroscek ke lapangan secara lebih baik. Apakah realitas nilai tukar sama dengan pendapatan atau bagi hasil yang diperoleh nelayan?” tanya Dr Yonvitner.

Dia menambahkan, untuk menggambarkan kesejahteraan nelayan, indikator yang mungkin digunakan adalah keterpenuhan KHM (kebutuhan hidup minimun) dibanding nilai tukar nelayan.

Keraguan lainnya, terletak pada penerapan sistem OSS (online single submission) yang digambarkan dapat membantu investasi perikanan agar dapat diselesaikan 1 sampai 2 hari. Namun ternyata, teknis verifikasinya tetap menjadi kendala.

Akibatnya, industri perikanan tetap mengalami kekurangan bahan baku karena terbatasnya armada perikanan untuk menangkap potensi besar tadi.

“Jika fenomena impor masih terjadi di tengah potensi yang berlimpah, ini menjadi tanda tanya besar bagi kita.  Kemana sesungguhnya arah pembangunan perikanan akan diarahkan?” pungkasnya.

  • Bagikan