Oleh: Masluki*
MEMBINCANG perberasan nasional layaknya drama terpanjang dengan episode yang tak kunjung usai. Sebagai komoditi pangan utama, beras menyangkut hajat hidup 253 juta rakyat Indonesia. Kenaikan harga dan kelangkaan beras sangat berefek terhadap pergerakan harga bahan pangan lainnya. Hal ini dikarenakan perberasan melibatkan modal besar dan padat karya. Beras pula masih menjadi bisnis besar menggiurkan yang melibatkan banyak pemburu rente, sehingga data perberasan sangat mudah dimanupulasi. Pada kondisi inilah beras menjadi sangat strategis untuk dijadikan sebagai komoditas politik.
Di tahun politik 2018, impor beras dapat menjadi bola panas yang akan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kado awal tahun ini, dapat pula menjadi mainan baru bagi kelompok oposisi untuk menggiring opini seraya memanen popularitas dan elektabilitas menjelang suksesi pemerintahan 2019.
Rencana impor beras di awal tahun 2018 sebesar 500.000 ton ditengah surplus stok beras, panen dan menjelang musim panen serentak pada februari – maret menuai kritik. Diperkirakan pada bulan januari luas panen berkisar 1-1,2 juta ha, jika rata – rata produksi 6 ton/ ha maka terdapat 6 juta ton GKG. Impor dengan alasan beras khusus premium yang tidak diproduksi dalam negeri menjadi rapor merah bagi kedaulatan pangan.
Psikologi pelaku pasar dalam negeri masih sangat latah dengan wacana impor beras, sehingga menyuburkan praktek spekulan. Saat impor masih dalam tahap rencana, namun harga beras dan bahan sembako lainnya sudah mulai merangkak naik. Sedangkan untuk menurunkan harga bahan pangan yang telah meroket, sangat susah dilakukan. Sedangkan kenaikan harga beras tidak signifikan menaikkan pendapatan petani.
Data BPS menunjukkan, produksi beras tahun 2015 sebesar 45 juta ton pada tahun 2015, maka seharusnya Indonesia mengalami surplus 15 juta ton tetapi pada sisi lain Indonesia masih mengimpor beras. Jika konsumsi angka konsumsi beras 114,12 kg per kapita per tahun, total konsumsi beras untuk 253 juta penduduk sekitar 30 juta ton. Tren di awal tahun 2016 belum ada kemajuan yang signifikan, dengan alasan menjaga ketersediaan stok dalam negeri dikarenakan ancaman kegagalan panen sebagai dampak dari el nino, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengimpor beras asal Thailand dan Vietnam. Begitupun di awal tahun 2017, tercatat impor beras sebesar 14.473 ton.
Disparitas data BPS, Bulog, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam memastikan produksi beras secara nasional menjadi persoalan mendasar. Kejujuran petugas lapang ujian tersendiri dalam ketepatan metode pengambilan ubinan pada saat panen. Laporan dan data produksi beras pada berbagai level perlu pengawasan ekstra sehingga tidak lagi menganut prinsip “asal bos senang”. Presisi data perberasan nasional berbasis IT sudah saatnya digalakkan. Akurasi dan keterlancakan produksi dan stok beras sudah saatnya dapat diakses secara factual dan real time sehingga tidak melahirkan swasembada semu. Koordinasi lintas sektoral terkait dengan perberasan perlu dikuatkan ditengah semakin meningkatnya serbuan beras impor.
Persoalan impor pangan tentunya tidak melulu dilakukan pemerintah, pelibatan pihak swasta dalam memainkan peran dalam pasar pangan perlu mendapatkan pengawasan secara intensif. Panjangnya rantai pasok dari petani ke konsumen semakin menyuburkan praktek kartel dalam pasar perberasan melalui invisible hand sebagai aktor utamanya dapat merusak harga beras dalam negeri.
Mengimpor beras pada saat stok dalam negeri mengalami surplus bukanlah tindakan yang bijak karena hanya akan berdampak merugikan petani dalam negeri. Hal ini dikarenakan harga beras ditingkat pasar nasional anjlok dan yang akan dirugikan petani dalam negeri. Namun impor masih win – win solution menyelesaikan rendahnya produksi beras, kenaikan harga dan kelangkaan beras menjelang hari raya serta kurangnya cadangan stok dalam negeri.
Regulasi perberasan nasional lintas wilayah perlu digalakkan untuk menutupi kekurangan beras didaerah lainnya. Sebut saja provinsi Sul-Sel pada tahun 2017 surplus 82.000 ton dapat didistribusikan ke daerah lainnya. Masih lemahnya sistem tata niaga perberasan dalam negeri semakin memberikan peluang bagi para kartel untuk meraup keuntungan besar. Meskipun pemerintah telah meratifikasi perdagangan kawasan dan global untuk membuka arus barang, jasa modal, tenaga kerja termasuk kran ekspor – impor. Komoditi pangan masih perlu mendapat pengawasan dan perlindungan khusus dari pemerintah. Menyerahkan produk pangan sepenuhnya ke mekanisme pasar sama halnya menyerahkan leher bangsa ini kepada kapitalisme.
Komoditi pangan selama puluhan tahun menggantungkan pangan hanya beras akan menjadi persolan yang semakin rumit. Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dari tahun ketahun, disisi lain produktivitas lahan semakin menurun, dan alih fungsi lahan sawah semakin besar. Jika bangsa ini hanya menyandarkan pada beras sebagai satu – satunya komoditi pangan, sangat sulit merealisasikan swasembada pangan secara berkelanjutan.
Sumber bahan pangan lain perlu digalakkan sebagai solusi dalam mengurangi angka konsumsi beras dalam negeri. Mengkampanyekan komoditi lain seperti ubi, sagu, talas, jagung dan kedelai sebagai alternatif bahan pangan dapat menciptakan diversifikasi pangan. Mengingat tingginya kekayaan komoditi pangan diberbagai daerah, bukan hal mustahil untuk mendorong diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan terhadap beras impor.
Mahalnya biaya produksi untuk mengembangkan komoditi padi sangat sulit untuk mensejahterakan petani. Ditambah lagi dengan kebijakan penghapusan subsidi benih padi pada tahun mulai 2018 senilai Rp 1,3 triliun per tahun, akan berdampak pada kenaikan harga benih dari Rp 2.500 per kg menjadi Rp 11.000 per kg. Tanpa adanya penangkaran benih disentra produksi akan semakin membebani petani padi.
Semestinya, kebijakan penghapusan subsidi benih padi harus dibarengi dengan inovasi teknologi produksi benih. Menyerahkan persolan benih ke mekanisme pasar bukanlah tindakan yang bijaksana. Harga benih unggul yang dijual oleh perusahaan swasta dapat mencapai 50.000/kg. Selain itu, akan berdampak pada serbuan benih impor.
Pada akhirnya, masa depan dan keberlanjutan pangan perlu dikaji ulang sehingga tidak terjadi miskoordinasi lintas sektoral. Menyerahkan sepenuhnya persolan pangan kepada usaha pertanian mandiri akan semakin sulit ditengah semakin berkurangnya minat generasi muda yang produktif dan terlatih kebidang pertanian. Bertani padi seolah memakan buah simalakama, disaat tahap budidaya biaya produksi tinggi, lahan semakin sempit, ancaman gagal panen membayangi, saat panen harga anjlok.
Di sisi lain, tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin meningkat. Mungkin sudah saatnya komoditi pangan khususnya padi dikelola secara korporasi melalui BUMN sehingga persoalan subsektor pangan dapat diminimalisir. Perlindungan atas hak milik petani seperti lahan, kemandirian terhadap benih unggul, harga dan akses pasar tetap diperkuat. Pengelolaan perberasan terintegrasi dapat mempercepat akurasi data produksi, adopsi teknologi, asuransi pertanian dan tata niaga perberasan nasional.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura IPB