Mediatani – Tanaman porang semakin saja diminati para petani. Yup! Hal itu tentu saja dikarenakan keuntungan yang menggiurkan.
Dari menanam porang, para petani bisa meraup cuan dari puluhan juta hingga miliaran rupiah, lho. Sebagai contoh warga di Durenan, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Kepala Desa Durenan, Purnama (50) mengatakan, 98 persen warganya merupakan petani dan sebagian besar menanam porang.
Dengan menanam porang, lanjut dia, kesejahteraan warga mulai meningkat lalu angka kemiskinan di desa itu terus menurun. Bahkan, banyak warga desanya kembali dari perantauan dan menanam porang di kampung halaman.
“Terbukti saat pandemi, ada 68 warga Desa Durenan yang membangun rumah berkat panen porang 2020 kemarin. Artinya ketika seluruh warga menanam porang, kita bisa melibas angka kemiskinan. Dan ketika kualitas porang terjaga, pasar pasti membutuhkan,” jelas Purnama dikutip, Kamis (15/4/2021) dari Kompas.com yang juga mengutip Surya, Selasa (13/4/2021).
Purnama menjelaskan, sebenarnya pengembangan porang di Desa Durenan telah mulai berjalan sejak 10 tahun yang lalu. Namun, para petani baru serius menggarap sekitar tiga tahun lalu.
Dia menyebut porang merupakan komoditi yang menjanjikan. Apalagi, perawatan porang terbilang mudah, tapi modalnya juga lumayan besar untuk membeli bibit.
Untuk satu hektare lahan dibutukan modal sekitar Rp55 hingga Rp60 juta. Namun, ketika panen, petani bisa memperoleh Rp 300 juta lebih.
“Bahkan sebelah rumah saya, ia beli bibit Rp12 juta, ketika panen dijual laku Rp55 juta,” urainya.
Dengan begitu, pantas bila lahan porang disebut bak tambang emas bagi mereka yang tekun membudidayakan porang.
“Untuk wilayah Desa Durenan, jumlah lahan milik warga yang ditanami porang ada sekitar 200 hektare. Dan ada sekitar 149 hektare kawasan hutan milik perhutani yang ditanami porang oleh warga,” kata Purnama.
27 tahun menanam porang
Mujiono (56), salah satu petani asal Durenan, menceritakan kisahnya menanam porang selama 17 tahun.
Ayah dua anak ini sudah meraup keuntungan ratusan juta selama menanam porang. Uang tersebut ia gunakan untuk membeli tanah dan juga membangun rumah.
Setiap panen ia selalu bisa membeli sesuatu. Padahal puluhan tahun silam, porang masih dianggap tanaman liar dan hanya segelintir warga yang membudidayakannya.
“Saya sudah menanam porang sejak 1994, waktu itu harganya masih Rp2.000 per kg,” ujar Mujiono.
Mujiono mengaku tidak mengeluarkan modal saat pertama kali menanam porang. Bibit porang dia ambil di hutan di lereng Gunung Wilis, di dekat desanya.
“Modalnya enggak ada, bibitnya saya cari langsung di hutan,” jelasnya. Mujiono mengatakan, awalnya ia menanam porang di lahan seluas 10×20 meter persegi.
Setiap tahun, ia menambah luasan lahan tanaman porang hingga memiliki setengah hektare lahan yang ditanami 4.900 batang porang sampai sekarang.
Mulai 2015, setiap kali panen Mujiono mampu mendapatkan untung Rp35 hingga Rp36 juta.
Keuntungan atau hasil panen dia gunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, serta membiayai sekolah anak.
“Uangnya saya belikan tanah, sekarang sudah punya delapan bidang tanah, saya tanam porang semua. Sebagian uang itu saya pakai untuk membangun rumah,” tambahnya.
Mujiono menuturkan, menanam porang jauh lebih menguntungkan dibandingkan menanam ketela atau jagung, asalkan perawatannya benar.
Perawatan porang terbilang lebih mudah bila dibandingkan tanaman lainnya. “Lebih mudah perawatannya, cuma diberi pupuk kandang saja,” kata Mujiono.
Di desanya, Mujiono pun biasa disebut petani porang “kawakan” alias berpengalaman. (*)