Mediatani – Harga pupuk non-subsidi mengalami peningkatan hampir di sepanjang tahun 2021. Hal tersebut tentunya menjadi beban tersendiri bagi petani. Pasalnya, pupuk non-subsidi seringkali menjadi pilihan pengganti kala pupuk subsidi sudah tidak tersedia di pasaran.
Ternyata, kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh kenaikan harga secara global. Sekjen Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Achmad Tossin Sutawikara menjelaskan bahwa harga pupuk non-subsidi di Indonesia murni mengikuti fluktuasi harga internasional.
Oleh karena itu, sebagai salah satu Negara produsen pupuk, Indonesia tidak boleh serta merta menurunkan harga di pasar internasional. Tossin menjelaskan, jika harga di pasar internasional dalam keadaan tinggi, kemudian kita serta merta menurunkan harga maka akan menjadi dumping.
“Meskipun masih untung itu konsekuensinya menurut saya agak rumit juga. Manajemen tidak sesederhana itu mengambil keputusan hanya dengan tujuan tertentu, nanti disangka kita menurunkan potensi keuntungan lagi, bisa jadi temuan BPK lah dan sebagainya,” kata Tossin sebagaimana dilansir detikfinance pada Minggu (2/1/2022).
Menurut Tossin, penurunan harga pupuk non-subsidi dari harga internasional akan menjadi dumping yang justru dapat memberi dampak buruk bagi para produsen pupuk.
Pernyataan senada juga diungkapkan Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santoso. Menurutnya, kenaikan harga pupuk non-subsidi adalah hal yang wajar. Andreas menilai naiknya harga pupuk non-subsidi merupakan imbas dari kondisi harga internasional.
“Harga pupuk internasional melonjak drastis, dari Mei 2021 sampai hari ini, itu kenaikan sudah tiga kali lipat untuk urea,” tutur Andreas, Minggu (2/1/2021).
Menurut Andreas, harga pokok produksi pupuk di Indonesia juga mengalami peningkatan yang disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya adalah pandemi Covid-19 secara global dan melonjaknya harga komoditas di pasar Internasional.
Andreas menjelaskan semua pupuk yang berbasis urea seperti diamonium fosfat atau DAP mengalami kenaikan 2,6 kali lipat, begitu juga dengan yang berbasis amonium sulfat atau ZA.
Kenaikan harga urea tidak lepas dari adanya kenaikan harga gas yang mencapai sembilan kali lipat. Harga gas secara global naik dari sebelumnya sekitar USD 3 per MMBTU menjadi sekitar USD 25 per MMBTU.
“Kenaikan bahan baku urea yakni gas luar biasa tinggi sehingga mendongkrak harga pupuk, sehingga harapan kita dalam beberapa bulan harga gas alam akan turun, dan kalau harga gas alam turun barangkali pupuk terutama yang berbasis nitorgen akan turun,” terang Andreas.
Andreas menilai, meski harga internasional melonjak drastis, tetapi kenaikan harga pupuk non-subsidi dalam negeri tidak setinggi harga internasional. Kondisi ini sebenarnya bisa menjadi momen yang tepat untuk melakukan ekspor. Sebab, harga urea sudah mencapai sekitar USD 1.000 per ton.
Meskipun demikian, Andreas mengakui produsen pupuk dalam negeri telah berusaha menetapkan harga yang terjangkau agar kebutuhan pupuk para petani dapat terpenuhi. Padahal, produsen pupuk tidak bisa menurunkan harga pupuk khususnya non-subsidi lantaran merujuk pada harga pasar internasional.
“Kan harga internasional saja jauh lebih tinggi dari harga domestik, jadi tidak bisa. Memang dengan mekanisme subsidi ya paling ditingkatkan anggaran untuk pupuk subsidinya, tapi kalau dalam waktu dekat ini ya bagaimana, kalau saya usul uang dari pemerintah diberikan lansgung ke petani, direct payment aja, jadi mereka bisa membeli pupuk non-subsidi sehingga perusahaan pupuk juga tidak terlalu merugi,” tutur Andreas.