Mediatani – Konflik agraria terus terjadi di Indonesia hingga saat ini. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2020 ada total 241 kasus konflik agraria yang terjadi.
Dilansir dari kompas – Total kasus tersebut terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampaknya sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK).
“Konflik agraria tertinggi terjadi pada sektor perkebunan yaitu sebanyak 122 kasus. Jumlah ini naik 28 persen dibandingkan pada 2019 yaitu sebanyak 87 kasus,” kata Dewi dalam acara diskusi virtual peluncuran laporan kasus konflik agraria 2020 di Jakarta.
Selanjutnya tertinggi kedua konflik agraria terjadi pada sektor kehutanan yaitu sebanyak 41 kasus. Angka ini bahkan meroket 100 persen dari 2019 yang berjumlah sebanyak 20 kasus. Konflik agraria lainnya terjadi di sektor infrastruktur sebanyak 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 11 kasus, pesisir kelautan 3 kasus dan agribisnis 2 kasus.
“Secara angka, konflik agraria dapat disebut menurun 14 persen, namun penurunan tersebut tidak signifikan dan tidak sebanding dengan minusnya pertumbuhan ekonomi yang turun 200 persen,” tambah Dewi.
Dewi berpendapat mestinya di tengah krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 ini jumlah kasus konflik agraria menurun drastis.
Adapun total luas tanah yang terdampak konflik agraria sepanjang Tahun 2020 adalah seluas 624.272 hektar.
Secara rinci dampak terluasnya terjadi di sektor kehutanan 312.158 hektar. Terluas kedua, sektor perkebunan 230.887 hektar. Selanjutnya infrastruktur 57.185 hektar, properti 6.019 hektar, pertambangan 12.797 hektar, fasilitas militer 4.741 hektar, pesisir kelautan 243 hektar dan agribisnis 3.915 hektar.
“Potret konflik agraria seperti ini tentu mengingatkan kembali bahwa sistem dan praktik-praktik perkebunan skala besar di Indonesia mengandung banyak masalah struktural yang akut dan sistematis,” ujar Dewi.
Hal ini tidak hanya terjadi pada tahun 2020, bahkan dalam lima tahun terakhir pun sektor perkebunan selalu menjadi penyebab penyumbang konflik agraria tertinggi.
“Selain itu, situasi 2020 juga memperlihatkan bahwa dua sektor klasik yaitu perkebunan dan perhutanan kembali menuai konflik tertinggi 69 persen kenaikannya,” kata Dewi.
Kemudian dalam sektor perkebunan yang paling banyak mendominasi konflik agraria adalah perusahaan perkebunan berbasis kelapa sawit.
Menurut Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari total 122 letusan konflik agraria di sektor perkebunan pada 2020, sebanyak 101 konflik di antaranya melibatkan perkebunan sawit.
“Letusan konflik didominasi oleh perkebunan berbasis sawit sebanyak 101 kasus dari total 122 kasus konflik agraria di sektor perkebunan,” kata Dewi Sartika dalam Laporan Kasus Konflik Agraria 2020.
Sementara untuk konflik lainnya melibatkan perkebunan dengan komoditas tebu, karet, teh, kopi, kelapa, holtikultura, kesambi, cengkeh, pala dan Jeruk.
Dewi menjelaskan, konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan sawit menunjukkan adanya proses perampasan tanah yang didasari oleh bisnis perkebunan. Bisnis tersebut tidak sejalan dengan klaim-klaim masyarakat yang sudah tinggal bertahun-tahun sehingga menimbulkan konflik agraria.
“Sayangnya memang praktik land grabbing atau perampasan tanah ini dilegitimasi oleh hukum dan difasilitasi oleh pemerintah tentunya,” kata dia.
Selain itu, perkebunan sawit ini memiliki jaringan modal yang kuat karena terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan besar ternama secara nasional maupun global. Dan ini lah yang membuat sektor perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi sektor dengan konflik agraria tertinggi di sepanjang tahun.