Mediatani – Industri penerbangan juga turut menjadi korban akibat pandemi Covid-19. Hal ini membuat berkurangnya jadwal penerbangan dua pilot maskapai penerbangan Air Asia, Kapten Pandu Silvanto dan Kapten Bhisma Bagaskara.
Kendati demikian, keduanya pun menolak pasrah dan memberanikan diri untuk menggeluti bisnis yang sangat berbeda dengan profesi atau keahlian yang mereka miliki.
Pada awal tahun 2020, kedua pilot millenial ini mempertaruhkan uang tabungan yang dikumpulkan selama bekerja sebagai pilot untuk merambah ke bisnis perikanan.
“Bisa dikatakan kami saat itu mempertaruhkan nyawa terakhir,” ujar Pandu, dilansir dari Suara.com, Senin (16/8/2021).
Mereka memilih bisnis perikanan karena dinilai mampu bertahan di masa pandemi. Apalagi, kepedulian untuk meningkatkan kesehatan dan imunitas tubuh telah membuat permintaan masyarakat akan ikan juga kian meningkat.
Pandu dan Bhisma kemudian mendirikan perusahaan yang berfokus pada penjualan ikan segar dan ikan beku, perusahaan yang didirikan pada Agustus 2020 itu diberi nama Silvara Jaladri Indonesia, dengan pusat kegiatan di Jakarta.
Agar segala kegiatan yang bersifat teknis bisa berjalan dengan baik, mereka menggandeng seorang lulusan dari Sekolah Tinggi Perikanan.
Selama ini, kedua pilot yang saat ini berusia 29 tahun tahun menjalankan bisnisnya dengan membeli ikan yang berasal dari pusat-pusat produksi perikanan di sejumlah daerah, mulai dari Kepulauan Rote (NTT), Ambon (Maluku) hingga Banda Aceh (Aceh).
Sebelum dipasarkan, ikan segar hasil tangkapan nelayan itu terlebih dulu diproses di pabrik untuk dibekukan, namun ada juga yang telah dibekukan di kapal.
Lalu, mereka mengirim produk ikan tersebut ke sejumlah kota/kabupaten, yakni di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Timur hingga Kalimantan, sesuai permintaan yang datang.
Alhasil, bisnis yang mereka jalankan itu menunjukkan tren positif karena jumlah permintaan pasar terus mengalami peningkatan hingga pada Agustus ini, bahkan lebih tinggi dari pasokan suplayer.
Setiap bulannya, ikan bisa mereka jual berkisar 100-150 ton dengan omset Rp1-2 miliar. Ada beragam jenis ikan hasil tangkapan yang dijual, mulai dari ikan layang, ikan kakap, ikan bentong, ikan tongkol abu, ikan tongkol batik dan berbagai ikan pelagis lainnya.
Namun, menurut Pandu, bisnis perikanan ini terbilang bukan hal yang mudah. Pasalnya, jenis ikan laut dan jumlahnya itu sangat tergantung dengan cuaca dan musim. Selain itu, bisnis ini sangat mengutamakan kualitas barang, sehingga rentan mengalami kerugian.
“Sekarang pemintaan justru tidak dipenuhi, tapi di Oktober bisa banyak pasokan lagi, tergantung musim,” katanya.
Ia juga mengatakan perjalanan bisnis perikanan yang mereka lalui ini bukan tanpa hambatan. Rekanan bisnisnya sendiri sempat menipu mereka dan membuat usahanya merugi Rp700 juta.
Namun, Ia menyadari bahwa pada umumnya pengusaha besar memang harus melalui jatuh bangun dalam perjalanan usahanya agar lebih tahan dan lebih adaptif terhadap berbagai hambatan bisnis.
Kisah itu berawal saat keduanya membeli ikan dari sebuah perusahaan pemasok. Ketika produk pesanan hendak dikirim ke Provinsi Jambi, mobil pengangkut dihadang oleh perusahaan lain.
Ternyata, perusahaan suplier tersebut memiliki masalah bisnis dengan pihak yang mencegat tersebut, sehingga ikan milik Pandu dan Bhisma yang menjadi korban karena dijadikan penggantinya.
Kejadian ini pun sudah dilaporkan ke Kepolisian, dan sampai saat ini mereka masih berharap ada tanggung jawab dari perusahaan rekanan.
Meski mengalami kerugian yang besar, keduanya tak menyerah begitu saja. Mereka bahkan mengusung visi yang lebih besar untuk mencoba melakukan bisnis ekspor perikanan.
Visi tersebut merujuk pada data Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menunjukkan meningkatnya ekspor perikanan Indonesia meski di tengah pandemi.
Pada 2020, Indonesia saat ini mampu berada pada peringkat 8 sebagai negara eksportir utama produk perikanan di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan posisi pada tahun 2019.
“Sekarang kami sedang mempelajari untuk mulai ekspor, target paling lambat kuartal III tahun 2022,” tuturnya.
Meski menggeluti bisnis perikanan ini, bukan berarti keduanya meninggalkan profesinya sebagai pilot. Menurutnya, bisnis dan profesi tersebut masih bisa berjalan beriringan jika sistem manajemen yang diterapkan dapat dipertanggungjawabkan.
Di tengah pandemi ini, Pandu tetap mendapatkan tugas untuk menerbangkan pesawat walau hanya satu kali dalam satu bulan karena maskapai Air Asia tempatnya bekerja mengurangi jadwal penerbangannya.
Sejak Agustus 2020 hingga 6 September 2021, Air Asia menutup operasi dan membuat minimnya kegiatan, dan terpaksa melakukan pemotongan gaji atau hanya membayar 10 hari kerja.
Lulusan sekolah penerbangan Aviatour Flight School di Filipina ini pun berharap industri penerbangan dapat kembali bangkit dan semakin banyak milenial yang berani terjun berbisnis memanfaatkan peluang di tengah pandemi.