Mediatani – Kementerian Pertanian (Kementan) saat ini mendorong pertanian low carbon untuk mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Alasannya, aktivitas pertanian yang kurang terkendali akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap efek gas rumah kaca (GRK). Hal inilah yang menyebabkan suhu bumi menjadi lebih panas.
Di Indonesia, sektor pertanian melepaskan emisi GRK ke atmosfer seperti metana (CH4), karbon dioksida (CO2), dan nitrogen dioksida (NO2) yang dihasilkan melalui aktivitas pemupukan, penggunaan pupuk urea, budidaya padi, dan pembakaran biomassa.
Melansir dari Tribun Timur, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi menuturkan bahwa membangun pertanian harus memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan.
Hal inilah yang melandasi kementan untuk menjalankan program pertanian green ekonomi dan ramah lingkungan, penurunan efek rumah kaca, integrasi pangan dan ternak terpadu.
“Hal ini sesuai dengan komitmen Kementerian Pertanian yang dikomando Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam membangun sistem pangan berkelanjutan yang tahan terhadap guncangan masa depan,” jelasnya.
Agar masih dapat digunakan di masa depan, tambah Suwandi, pembangunan pertanian harus dilakukan dengan cara-cara modern yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan berbagai tantangan.
Hal tersebut disampaikan Suwandi pada webinar Propaktani Bimbingan Teknis dan Sosialisasi yang dilakukan secara daring dan mengangkat topik Mewujudkan Pertanian Low Karbon untuk Mengurangi Efek Gas Rumah Kaca, Selasa (18/1/2022).
Suwandi berharap Kementan bisa bersinergi dengan semua pihak terkait untuk dapat memberikan pemahaman dan pelaksanaan berbagai kegiatan pertanian yang bisa mengurangi emisi GRK.
“Tantangannya adalah dengan adanya upaya-upaya ini, produksi harus tetap meningkat. Kita harus menekan penggunaan pupuk kimiawi dan mendorong petani untuk beralih ke pupuk organi,” tuturnya.
Dalam webinar yang sama, Akademisi Teknik dan Manajemen Lingkungan Sekolah Vokasi IPB, Beata Ratnawati menuturkan, perubahan iklim adalah akibat dari pemanasan global yang terjadi secara perlahan yang akan sangat dirasakan oleh generasi mendatang.
Hal yang bisa dilakukan dalam mengurangi emisi yaitu, pemeliharaan dan perbaikan jaringan irigasi, optimalisasi lahan, penerapan teknologi budidaya tanaman, dan Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu.
Selain itu, bisa juga menggunakan varietas rendah emisi, pemanfaatan pupuk organik dan biopestisida (Unit Pengelola Pupuk Organik), pengembangan areal perkebunan di lahan tidak berhutan atau lahan tidur, serta pemanfaatan kotoran atau urin ternak dan limbah pertanian untuk biogas.
“Kegiatan berikutnya adalah pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan, dan pengembangan pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar dan terdegradasi,” jelasnya.
Selanjutnya, Produsen Muda Pupuk Organik Cair Pronik, M. Akbar menjelaskan bahwa emisi gas rumah kaca ini dapat dikurangi dengan penggunaan pupuk organik.
“Melalui penerapan CEF diharapkan penggunaan pupuk buatan, energi tidak terbarukan, serta emisi GRK, dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi.” ungkapnya.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro yang lebih lengkap dibandingkan pupuk anorganik. Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah, lahan kering menjadi lebih gembur, dan lahan sawah tanahnya bisa lebih lembut.