Mediatani – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya melakukan stabilisasi harga perunggasan di peternak. Upaya itu diharapkan, agar tidak ada lagi peternak yang menderita kerugian karena harga liverbird di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP).
Direktur Jenderal PKH, Nasrullah, mengutip, Senin (22/3/2021) dari situs industry.co.id, menjelaskan bahwa upaya stabilisasi perunggasan yang telah dilakukan oleh Ditjen PKH Kementan yaitu pengendalian produksi melalui cutting HE fertil dan afkir dini PS.
Hal ini, ditekankannya sebagai usaha menjaga keseimbangan supply dan demand harga liverbird (LB) di tingkat peternak. “Terdapat korelasi positif upaya pengendalian produksi DOC FS dengan perkembangan harga livebird (LB). Upaya ini telah berdampak terhadap perbaikan harga LB di tingkat peternak,” kata Nasrullah.
Dia menambahkan, dalam melindungi kepentingan peternak UMKM (rakyat), setiap perusahaan pembibit harus memprioritaskan distribusi DOC FS untuk eksternal farm 50% dari produksinya dengan harga sesuai harga acuan Permendag.
Hal ini diamanatkan pula di dalam Permentan Nomor 32 tahun 2017 bahwa perusahaan pembibit harus mendistribusikan DOC FS 50% untuk peternak eksternal di luar kemitraan dan company farm. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan DOC FS untuk peternak eksternal utamanya skala UMKM perlu dilakukan verifikasi dan validasi sehingga dapat diketahui proporsi kebutuhan internal farm termasuk kemitraan dengan peternak eksternal.
Nasrullah menjelaskan bahwa kondisi perunggasan nasional sekarang ini masih didera isu ketidak-seimbangan antara supply dan demand, yang memicu harga livebird sangat fluktuatif dan cenderung berada di bawah HPP (Harga Pokok Produksi).
Harga livebird memang sangat dipengaruhi oleh volume supply di kandang dan pangkalan ayam. Pasar ayam ras pedaging pun lanjut dia, sebagian besar beredar dalam bentuk bentuk hidup (livebird) kurang dari 80%.
Pola konsumsi masyarakat terhadap daging ayam bersifat musiman (seasonal), ditambah lagi pandemi covid-19 berdampak pada penurunan demand sebesar 20%. Akibatnya, covid-19 konsumsi daging ayam tahun 2020 terkoreksi dari 12,79 kg/kapita menjadi 10,1 kg/kapita dan tahun 2021 diestimasi sebesar 11,75 kg/kapita.
Lebih jauh Nasrullah mengungkapkan bahwa upaya permanen yang dilakukan Pemerintah ialah mewajibkan pembibit untuk melakukan pemotongan livebird di RPHU sebesar kapasitas produksinya secara bertahap selama 5 tahun.
Upaya strategis melindungi peternak UMKM adalah dengan menumbuh kembangkan kelompok tani ternak unggas, diharapkan dapat mewadahi kepentingan peternak UMKM dan berkontribusi terhadap stabilisasi perunggasan nasional.
Terbentuknya kelompok tani ternak unggas ini menjadi wadah untuk mentautkan kepentingan peternak melalui kerja sama (partnership) kepada perusahaan terintegrasi. Kerja sama ini mengacu pada Permentan No 13 Tahun 2017 tentang kemitraan usaha peternakan.
Dalam Permentan No 13 Tahun 2017 disebutkan juga kemitraan usaha peternakan adalah kerja sama antar usaha peternakan atas dasar prinsip saling memerlukan, memperkuat, menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab dan ketergantungan.
Sebelumnya, sebagaimana diberitakan mediatan.co, bahwa Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara menilai tata niaga unggas dalam masalah. Sejak pertengahan tahun 2018 lalu, harga ayam hidup /live bird (LB) diklaim jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP) dan mengakibatkan ratusan ribu peternak ayam rakyat merugi.
Kondisi tersebut dinilai karena kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga ayam hidup yang selalu anjlok dari harga acuan.
Dikutip mediatani.co, Rabu (17/3/2021) dari situs kontan.co.id, Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN), Alvino Antonio melalui kuasa hukumnya pun mengirimkan Nota Keberatan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) karena dianggap gagal menjalankan kebijakan, terlambat menjalankan kewajiban sesuai kewenangannya, keliru dalam menggunakan data, dan pelaksanaan kewenangan tanpa ada pengawasan.
Sehingga gagal memenuhi kewajibannya secara hukum untuk melindungi peternak rakyat atau mandiri, sesuai dengan Undang-Undang (UU) No.19/2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2013 Tentang Pemberdayaan Peternak.
“Persoalan utamanya adalah pemerintah gagal mengendalikan supply and demand (tata niaga) unggas sehingga terjadi over supply dan mengakibatkan harga di pasar hancur. Karena itu, kami mengajukan keberatan dan berharap ada dialog dan komunikasi dengan pihak Kementan untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Kuasa Hukum Hermawanto dalam keterangannya, Senin (15/3) dikutip mediatani.co, Rabu (17/3/2021) dari situs kontan.co.id
Hermawanto menjelaskan, kerugian tersebut berdasarkan perhitungan estimasi dari fakta harga jual ternak yang kerap di bawah harga terendah acuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 7 Tahun 2020, yakni Rp.19.000/kg.
Dia bilang fakta tersebut didukung data Kementan yang menyebutkan produksi bibit anak ayam/Final Stock (FS) secara nasional 80.000.000 ekor/minggu. Dengan komposisi peternak rakyat yang hanya 20% dari produksi nasional. Diperkirakan rata-rata kerugian sekitar Rp 2.000/kg. Baca selengkapnya dengan klik di sini. (*)