Mediatani – Mahalnya daging sapi di Indonesia akhir-akhir ini dikeluhkan konsumen, mengingat daging sapi ialah jenis protein ketiga terbanyak yang dikonsumsi di Indonesia setelah ayam dan ikan.
Dikutip Sabtu (7/2/2021) dari situs IDN Times, Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Ph. D Candidate Australian National University (ANU) Andree Surianta merekomendasikan beberapa cara agar harga daging sapi di Indonesia bisa turun.
Mulai dari Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) disertai koordinasi dengan Economic Cooperation Program (ECP).
Lalu, bagaimana IA-CEPA bisa bikin harga daging sapi turun?
1. Akses preferensial ke lebih dari 99 persen produk pertanian untuk pakan
Andree menuturkan bahwa IA‑CEPA memberikan akses preferensial ke lebih dari 99 persen produk pertanian Australia yang diimpor ke Indonesia.
Dengan begitu, usaha yang menggunakan pakan biji-bijian dan daging sapi sebagai bahan produksi sekarang mampu mendapatkan kedua-duanya dengan harga yang lebih rendah.
Untuk pakan, tarif pun akan dihilangkan untuk sejumlah 500 ribu ton di tahun pertama perjanjian dagang diterapkan dan jumlah ini pun akan ditingkatkan secara progresif ke lebih dari 775 ribu ton di tahun kesepuluh.
Kemitraan IA-CEPA ini lanjut dia memberikan kemudahan berupa pembebasan tarif, dari yang tadinya 5 persen untuk 575 ribu ternak di tahun pertama.
Volume bebas tarif ini juga dinaikkan ke 4 persen setiap tahun sampai mencapai 700 ribu pada tahun keenam.
Untuk daging sapi beku, tarif pun diturunkan dari 5 persen menjadi 2,5 persen yang lalu dihapuskan pada tahun kelima.
“Peningkatan volume dan penurunan tarif itu tentunya bisa berkontribusi pada turunnya harga daging sapi di Indonesia. Selain itu, kerja sama ini pun dapat dikembangkan lebih lanjut untuk mewujudkan konsep ‘poros kekuatan’ yang menggabungkan kekuatan kedua mitra, yakni sektor pertanian Australia dan industri makanan olahan Indonesia, untuk kemudian merambah pasaran negara lainnya,” kata Andre dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/2/2021) dikutip dari IDN Times Minggu (7/2/2021).
2. Kemendag harus koordinasi dengan Economic Cooperation Program (ECP)
Andree pun menyarankan pihak Kementerian Perdagangan agar melakukan koordinasi dengan Economic Cooperation Program (ECP) untuk mendesain program agar memperlancar jalur pasokan sapi potong dan daging sapi dari Australia ke Indonesia.
Caranya pun bisa dengan mengadakan pertemuan berkala antara peternak Australia dengan importir Indonesia, yang mempelajari hambatan logistik dari Australia ke Indonesia, atau bahkan mengevaluasi cara meningkatkan efektifitas rantai distribusi daging sapi di Indonesia.
“ECP ialah sesuatu program yang bertujuan untuk meningkatkan potensi kesuksesan pelaksanaan IA-CEPA dengan mendukung reformasi regulasi melalui bantuan teknis, dan memfasilitasi hubungan antar industri, serta mengembangkan standar umum dan kerangka kerja antar kedua negara,” ujar dia.
3. Tapi tetap perlu evaluasi dalam negeri juga
Tingginya harga daging sapi baru-baru ini pun menyebabkan pedagang daging sapi melakukan demonstrasi dan menolak berjualan.
Hal ini tentunya disebabkan oleh harga daging sapi yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar Rp 120.000 per kilogram.
Menurut Andree, tingginya harga daging sapi pula perlu diatasi dengan melihat ke dalam persoalan di hulu, salah satu di antaranya ialah dengan rantai distribusi yang panjang.
“Meskipun IA-CEPA bisa mengurangi harga impor daging sapi, tapi panjangnya rantai distribusi dapat menimbulkan biaya tambahan yang tak sedikit, yang pada akhirnya mempengaruhi harga jualnya,” ucap dia.
Selain itu, pemerintah perlu memilih untuk mengimpor sapi bakalan yang harus digemukkan lagi dan dipotong di Indonesia.
Setelah itu, daging sapi yang dihasilkan pun dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan pembeli.
“Tahapan selanjutnya ialah menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Maka merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen. Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang dipastikan tak sedikit,” papar dia. (*)