Mediatani – Semangat Kartini ternyata masih berkobar pada diri perempuan-perempuan tangguh di Indonesia. Salah satunya tercermin pada Nurkhafidoh, nelayan perempuan di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak.
Sebagai salah satu di antara 27 nelayan perempuan yang diakui di Dukuh Tambakpolo, Nurkhafidoh setiap harinya menemani sang suami, Musafiqin (41) untuk pergi melaut. Tidak ingin menjadi beban, dia menyiapkan perbekalan hingga ikut menjaring ikan dan memasarkannya.
Hal tersebut dilakukan tidak lain karena tuntutan ekonomi yang terus membelenggu daerah pesisir. Dia mengaku telah menjadi nelayan kurang lebih 5 tahun lamanya.
“Awalnya karena susah mencari ABK, akhirnya saya ikut karena kalau nggak ikut ya kebutuhan sehari-hari akan kurang. Sebelumnya kan ada ABK kemudian dia punya perahu sendiri jadi ABK saya tidak ada lagi,” ujarnya dilansir dari Detikcom beberapa waktu lalu.
Dengan menggunakan perahu kecil berukuran di bawah 10 gross ton, Nurkhafidoh bekerja sama dengan suaminya. Saat suaminya menyalakan mesin, ia bertugas memegang kemudi agar seimbang, setelahnya itu suaminya kembali memegang kemudi. Sementara, keduanya sama-sama menebar dan menambat jaring.
Perempuan berusia 39 tahun ini mengatakan dirinya biasanya melaut bersama Suamiya ke perairan Menco hingga perairan Semarang yang jaraknya puluhan kilometer dari desa tempat tinggalnya.
Ia mengaku dirinya melaut dengan durasi waktu yang tidak menentu karena tergantung seberapa banyak tangkapan ikan yang didapat. Namun, biasanya dia berangkat melaut jam 2 pagi dan jam 10 pagi ia pulang dan langsung menjual ikan hasil tangkapannya ke pengepul.
Nurkhafido menceritakan bahwa dirinya dulu sangat muda untuk mendapatkan ikan 20 kg hingga 25 kg. Namun, saat ini mendapat 10 kg sampai 15 kg saja sudah dianggap lumayan.
Menurutnya, hal itu disebabkan karena tak jarang dirinya terkendala dengan kondisi cuaca dan oknum nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti Arad.
Oleh karena itu, Nurkhafidoh selalu memanjatkan doa sebelum melaut agar diberi kelancaran dan kemudahan saat mencari ikan dan terhindar dari berbagai marabahaya yang berpotensi terjadi di tengah laut.
“Ya Allah gusti semoga melaut hari ini tidak ada arad,” tuturnya.
Selain ancaman nelayan jaring arad, Nurkhafidoh juga mengaku pernah menabrak sebuah patok yang membuat perahu miliknya terjebak selama berjam-jam.
Sempat diejek
Dia mengaku sempat mendapat perlakuan diskriminatif saat melaut menemani suami dengan KTP yang masih berstatus Ibu Rumah Tangga. Hal itu bahkan membuat ia dan nelayan perempuan lainnya menjadi tidak semangat untuk melaut.
“Sebelum saya dapat KTP melaut saya diejek orang-orang, tetangga, katanya orang perempuan kok ikut melaut, bisanya di rumah masak saja!,” kenang Khafidoh.
Selain itu, ejekan-ejekan seperti itu juga kerap dilontarkan oleh para nelayan pria yang ditemuinya di tengah laut. Menurutnya, mereka biasanya sengaja menghampiri perahu kecilnya hanya untuk mencibir.
“Kalau di laut suka dipepet perahunya kemudian mengejek kalau sudah dekat. Jadi sebelum berangkat atau mau pulang (supaya nggak diejek) kita sembunyi di bawah (deck perahu), ya karena malu diejek,” tuturnya.
Sementara, nelayan perempuan lainnya, Siti Bauzah (60) juga mengalami hal yang serupa dengan Nurkhafidoh. Perempuan yang sudah menjadi nelayan hingga 30 tahun lamanya ini kerap mendapat ejekan karena fisiknya yang dianggap menyerupai laki-laki dan berwarna kulit gelap.
“Saya sering disebut Papua, Papua, gitu sama sesama nelayan,” ungkapnya.
Selain itu, banyak nelayan pria yang melontarkan cibirannya yang menganggap perempuan tidak pantas untuk melaut, karena ada masyarakat sekitar memiliki kepercayaan bahwa ketika perempuan sedang mengalami menstruasi itu bisa mendatangkan kesialan.
“Perempuan kok melaut nggak pantas, kalau perempuan melaut itu pamali atau gak elok, karena dulu kan ada kepercayaan kalau perempuan itu nggak boleh di atas perahu, karena akan membawa sial,” jelasnya.
Bauzah bersama suami juga termasuk nelayan kecil yang ada di Dukuh Tambak Polo dan kerap berani mengarungi lautan hingga menetap ke Semarang. Hasil tangkapannya pun tidak menentu.
Selama melaut 30 tahun, telah banyak duka yang dialami oleh ibu dari lima orang anak ini. Salah satu yang tidak bisa dilupakannya, ketika dirinya dan suami tenggelam di tengah laut karena bagian depan perahunya ditabrak oleh kapal cantrang yang berukuran di atas 10 gross ton.
“Saya dan suami juga ikut tenggelam karena perahunya itu ambles (tenggelam). Alhamdulillah, ABK kapal yang menabrak waktu itu langsung menolong dan diajak pulang ke rumahnya,” jelasnya.