Kisah Perempuan Pencari Kerang yang Melestarikan Kearifan Lokal di Hutan Bakau Jayapura

  • Bagikan
Mama Ani menggunakan sampan untuk mencari kerang

Mediatani – Keberadaan Hutan Perempuan, yaitu salah satu hutan bakau yang ada di Jayapura, tak bisa dipisahkan dari perempuan Enggros dan Tobati, yang mendiami Teluk Youtefa Papua. Kawasan bakau tersebut telah dirawat oleh para perempuan dengan kearifan lokal secara turun-temurun.

Dilansir dari BBC Indonesia, Kamis, (4/3), Adriana Youwe Meraudje, salah satu perempuan yang mendiami kawasan tersebut mengungkapkan bahwa Hutan Perempuan telah menjadi bagian dari adat mereka, sehingga mereka tak bisa meninggalkan hutan tersebut.

Perempuan yang akrab disapa Mama Ani ini adalah salah satu dari segelintir perempuan Enggros yang sejak lama telah melestarikan kearifan lokal di Hutan Perempuan. Kearifan lokal yang dimaksud itu adalah tradisi khusus perempuan yang mencari kerang tanpa busana.

“Daripada tinggal saja begitu to, budaya kami harus diangkat. Di dunia tidak ada hutan perempuan, hanya di Tobati-Enggros yang ada hutan perempuan, yang khusus untuk perempuan dan mencari kerang tanpa busana,” tutur Mama Ani.

Mama Ani mengaku bangga karena menurutnya di dunia ini, Hutan Perempuan hanya ada satu, yaitu di kampung Tobati-Enggros.

Mencari kerang ‘dengan perasaan’

Untuk mencari kerang, Mama Ani dan perempuan Enggros lainnya, akan pergi ke Hutan Perempuan saat air laut telah surut. Saat itu dianggap waktu yang tepat untuk mencari bia noor, yaitu kerang berkulit tipis yang hanya hidup di kawasan bakau.

Selain menggunakan perahu, mereka juga menyiapkan ember dan wadah lainnya untuk menampung kerang-kerang yang ditangkap.

Saat menemukan lokasi yang tepat, mereka menambatkan perahunya dan melepaskan pakaiannya untuk menceburkan diri ke dalam air. Di dalam air yang jernih dengan akar bakau yang melintang di sana-sini itu, kaki mereka sibuk menginjak-injak lumpur, meraba dengan ujung jari kaki untuk mencari keberadaan kerang.

Ati, perempuan Enngros lainnya menjelaskan bahwa untuk mencari kerang noor atau bia noor, harus menggunakan perasaan. Sebab, kerang yang hidup di hutan bakau itu memiliki cangkang yang tipis dibanding kerang di laut yang memiliki kulit yang keras.

“Injak pelan karena ini pecek (lumpur), terus kerangnya itu kulitnya tipis. Kalau kasar, dia hancur, pecah. Jadi harus dengan hati-hati, penuh perasaan sekali,” jelas Ati.

Sesekali kaki mereka terantuk botol atau sampah yang terselip di akar-akar bakau. Namun, hal tersebut tidak mengganggu ketenangan Mama Ani saat mencari kerang. Hanya saja, terkadang terdengar suara musik yang diputar dari kafe-kafe yang mulai menjamur, tak jauh dari Hutan Perempuan.

Suara musik yang kontras dengan suara kicauan burung itu memaksa mereka menghentikan aktivitas mencari kerang dan membuat hasil tangkapannya berkurang.

Tradisi Tonotwiyat

Mama Ani menceritakan momen pertama kali mengenal Hutan Perempuan. Saat itu dirinya yang masih kecil dan perempuan-perempuan lainnya diajak oleh ibunya untuk mencari kerang di hutan bakau ketika air laut sedang surut.

Tradisi masyarakat mengunjungi hutan bakau, dalam bahasa setempat disebut tonotwiyat. Dimana tonot artinya hutan bakau, sedangkan wiyat berarti ajakan.

“Pengalaman mama waktu masih kecil ikut mama saya ke hutan bakau, dulu itu memang mama-mama panggil-panggil ‘Ayo ke hutan bakau’. Sama-sama ke sana,” tuturnya.

Menurutnya, mereka harus menanggalkan pakaian mereka karena kondisi tanah pada kawasan tersebut berlumpur dan dapat menimbulkan rasa gatal.

“Karena di sana itu pecek. Kalau kita dengan pakaian turun ke sana kan pecek (lumpur) itu masuk ke dalam pakaian. Jadi dari dulu begitu,” ungkap Prisilla Sanyi, perempuan asli Enggros.

Mama Prisilla juga menambahkan selain untuk mencari kerang, para perempuan juga mengunjungi dan menghabiskan waktu di Hutan Perempuan karena mereka merasa tidak memiliki kebebasan untuk berbicara. Menurutnya, di kampung tersebut hanya laki-laki saja yang dapat berbicara untuk memberi masukan.

Meskipun disebut Hutan Perempuan, bukan berarti laki-laki sama sekali tidak bisa masuk ke hutan tersebut. Laki-laki biasanya masuk ketika para perempuan tak lagi bisa beraktivitas, yaitu saat air sedang pasang. Salah satu tanda yang dapat mereka lihat adalah air di sekitar hutan yang tampak kabur atau tampak jejak di lumpur yang berarti ada perempuan beraktivitas di sana.

Denda adat

Mama Ani menuturkan, jika ada laki-laki yang mengintip, mereka akan dikenakan denda. Kepada pemimpin adat, para perempuan menuntut agar laki-laki membayar denda jika melanggar aturan tersebut.

“Kalau sampai ada laki-laki yang intip, dia kena sanksi, harus denda. Kami ke para-para adat, tuntut dia harus bayar denda. Sudah tahu ada perempuan mencari, kenapa dia harus pergi ke hutan perempuan?,” ungkap Mama Ani.

Kepala dewan adat Kampung Enggros, John Sanyi membenarkan hal tersebut. Menutnya, para perempuan dapat melaporkan kejadian itu ke dewan adat yang akan mengadili orang tersebut dan menuntut pembayaran denda.

Denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengintip atau memasuki hutan tersebut, yaitu berupa manik-manik dengan nilai yang tertinggi pertama adalah warna biru, kedua hijau, dan ketiga putih. Manik-manik yang disebutkan itu juga kerap dijadikan mas kawin bagi warga Enggros Ketika melangsungkan pernikahan.

Manik-manik berwarna biru atau dengan nilai tertinggi itu harganya setara Rp1 juta rupiah. Sedangkan manik-manik berwarna hijau, memiliki nilai setara Rp500.000 dan manik berwarna putih bernilai Rp300.000.

Selain Hutan Perempuan ini menjadi tempat hidup berbagai jenis ikan, kepiting dan kerang, warga juga memanfaatkan mangrove sebagai bahan obat-obatan, kayu bakar. Juga, bahan bangunan, pengawet jaring hingga penghalus dan pewarna perahu.

  • Bagikan