Mediatani – Konflik agraria kembali terjadi di kabupaten Sukabumi. Sebanyak 12 orang petani asal Kampung Nagrak, Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, dipolisikan PTPN VIII. DPC Serikat Petani Indonesia (SPI) Sukabumi, Rozak Daud mengecam hal itu. Ia menilai kasus ini harusnya ditangani oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) bukan kepolisian.
Rozak mengatakan, kejadian ini sebaiknya tidak diproses melalui pendekatan hukum, karena menurutnya tanah itu bisa saja berfungsi sosial dan hukum itu bisa batal apabila mempertimbangkan kondusifitas di lapangan
Ia juga menambahkan, persoalan yang dihadapi para petani adalah persoalan sosial dimana seharusnya lahan yang tidak dipakai karena habis masa Hak Guna Usaha (HGU) bisa dimanfaatkan petani untuk kehidupan sehari-harinya.
“Kalau lihat dari data perusahaan PTPN ini kan sudah habis haknya tahun 2006 dan tahun 2013 artinya sudah habis HGUnya makanya kalau di peraturan pemerintah nomor 40 tahun 1996 pasal 18 itu dijelaskan bahwa apabila HGU itu hapus atau sudah tidak di perpanjang maka si pemegang haknya harus mengeksekusi atau membongkar tanaman asetnya sendiri, itu kan sudah 7 tahun harusnya di bongkar sendiri saja jangan memicu konflik juga,” beber Rozak.
Selain itu, kata Rozak, PTPN bisa saja mengajukan kembali perpanjangan namun secara aturan HGU itu hanya sampai 60 tahun. Sehingga sampai kapanpun PTPN tidak bisa memperpanjang kembali status HGU tersebut.
Ketua Forum Komunikasi Kelompok Tani Sukabumi Utara, Dedi Suryadi juga senada dengan Rozak, ia menyebut pemanggilan petani oleh pihak kepolisian adalah peristiwa yang kembali berulang. Padahal kasusnya sendiri mestinya ditangani oleh GTRA.
“Konflik agraria mestinya di tangani oleh GTRA bukan ranah pidana, masyarakat sudah mulai tau bahwa HGU (PTPN) sudah habis sejak tahun 2013 bahkan sebagian ada 2006, kalau misalnya sekitar PTPN itu banyak pejabat menguasai tanah memiliki tanah mereka juga kan tergerak dengan caranya mereka masing masing lalu membuka lahan,” ungkap Dedi.
Menurut Dedi, petani yang diperiksa polisi terhimpun dalam kelompok tani. Mereka tidak mempunyai solusi bagaimana caranya menggarap lahan PTPN.
“Mereka carilah lahan teh yang sudah tidak produktif, yang tidak produktif itu yang tidak di petik, yang tidak di rawat, banyak di tumbuhi gulma bermaksud untuk dimanfaatkan, apalagi terkait program pemerintah ketahanan pangan tidak ada pertentangan disana,” lanjut Dedi.
Dedi menganggap pemeriksaan polisi merupakan upaya kriminalisasi, solusi tepat menurutnya melimpahkan peristiwa tersebut ke GTRA lalu dicarikan jalan keluar tanpa harus mempidanakan petani yang membutuhkan lahan di kawasan tersebut.
“Kami akan melakukan pendampingan dan berharap proses kriminalisasi ini dihentikan penyelidikan ini di hentikan kemudian dilimpahkan kepada GTRA wilayah untuk di cari solusinya. Saat ini petani dijerat pasal 170 tentang perusakan, padahal teh yang dianggap dirusak itu adalah teh yang tidak pernah di petik jadi area itu sudah sangat tumbuh banyak gulma dan tidak pernah apalagi sampai di jual,” paparnya.
Sebelumnya, Kasat Reskrim Polres Sukabumi Kota AKP Cepi Hermawan mengatakan pihaknya sudah meminta keterangan beberapa petani soal rusaknya batang teh di area PTPN VIII. Cepi menyebut ada 920 batang teh yang diduga dirusak oleh pihak yang ia sebut sebagai oknum petani.
“Perusakan pohon teh berada di kawasan Perkebunan PTPN VIII Goalpara. Adapun caranya mereka merusak dengan mesin sinso dan golok. Sementara pohon teh yang dirusak ada 920 pohon di atas lahan satu hektare lebih. Mereka satu minggu menggarap lahan itu,” ucap Cepi.
Cepi menegaskan pihaknya bekerja berdasarkan fakta di lapangan dan tidak terkait dengan konflik status tanah.
“Kita fokus apa yang terjadi dan fakta-fakta di lapangan. Adapun pada kemudian hari beranggapan di kedua belah pihak soal status tanahnya, maka silakan diselesaikan di pengadilan,” tutur Cepi menambahkan.