Mediatani – Undang-undang (UU) Omnibus law yang disahkan Senin (05/10/20) malam menuai protes dari berbagai elemen masyarakat. Protes jalanan pecah hingga hari ini di berbagai daerah usai aturan kontroversial ini disahkan. Mereka menganggap poin-poin yang ada di dalam Omnibus Law Cipta Kerja merugikan buruh pekerja dan petani.
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebutkan pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja lewat rapat paripurna pada Senin, 5 Oktober lalu adalah merupakan hari kejahatan terhadap konstitusi atau UUD 1945.
“Kedaulatan agraria rakyat dan bangsa resmi dipangkas. Sebab itu, 5 Oktober 2020 menjadi Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi oleh DPR RI yang seharusnya menjadi Penjaga dan Penegak Konstitusi,” kata Dewi dilansir dari CNNIndonesia, Rabu (7/10).
Menurutnya, Undang-undang tersebut dengan jelas memberikan kepastian hukum dan kemudahan proses kepada investor dan badan usaha raksasa. Dengan begitu, mereka lebih mudah merampas tanah rakyat, menghancurkan pertanian rakyat, merusak lingkungan dan memenjarakan masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya.
Dewi memaparkan 10 masalah fundamental dalam Undang-undang Cipta Kerja yang bertentangan dengan reforma agraria.
1. Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
UU Cipta Kerja bertabrakan dengan Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petan.
2. UU Cipta Kerja dianggap tidak memiliki landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis
Tanpa landasan tersebut, watak undang-undang ini menjadi sangat liberal di bidang pertanahan. Argumen ‘norma baru’ menjadi cara agar RUU Pertanahan yang bermasalah pada September 2019 lalu dapat diseludupkan ke dalam UU Cipta Kerja.
Hal tersebut adalah bentuk kolutif birokrat dalam proses legislasi. Tanpa landasan hukum yang diacu, maka UU Cipta Kerja bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA yang telah dilahirkan para pendiri bangsa dan Panitia Negara.
3. Azas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) dihidupkan kembali
Domein verklaring yang telah dihapus UUPA1960, dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah. Seolah Negara (cq. Pemerintah) pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL)/Hak Atas Tanah Pemerintah.
HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerfull dan luas cakupannya. Satu, HPL dapat diberikan pengelolaannya kepada Pihak Ketiga; Dua, dari HPL dapat diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal. Tiga, tidak adanya pemberian batas waktu HGU dll., sehingga moral hazard kembali menyeruak di tengah dominasi HGU oleh badan usaha (BUMN/PTPN dan swasta).
4. Bank Tanah melayani pemilik modal, sarat monopoli dan spekulasi tanah.
Bank tanah ini dibuat untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara (domein verklaring/negaraisasi tanah). Lembaga BT bahkan diberi kewenangan untuk mengelola HPL.
Meski disebut sebagai lembaga non-profit namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ke tiga (swasta) dan hutang lembaga asing. Tata cara kerjanya pun berorientasi melayani pemilik modal. Sehingga para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema BT.
5. Penyesatan Publik Tentang Reforma Agraria Dalam Bank Tanah.
Agenda Reforma Agraria (RA) diklaim sebagai bagian dari pemenuhan aspirasi yang dijawab UU Cipta Kerja. Padahal, hal itu merupakan bentuk penyesatan kepada publik. Semakin memperjelas ketidakpahaman para birokrat dan legislator pemerintah berkaitan dengan reforma agraria.
Keadilan sosial untuk kaum tani, buruh tani, dan rakyat miskin tak bertanah tidak bisa diletakan dalam proses bisnis pengadaan tanah bagi kepentingan investor. “Reforma Agraria ‘dibawa-bawa’ sebagai pemanis meminimalisir penolakan Gerakan RA terhadap rencana BT sejak penolakan 2019.
6. Ketimpangan penguasaan tanah dan konversi tanah pertanian kecil dilegitimasi.
Pemerintah dan perusahaan dalam undang-undang ini memiliki kewenangan untuk secara sepihak menentukan lokasi pembangunan infrastruktur tanpa persetujuan masyarakat.
Hal itu membuat UU akan memperparah penggusuran, ketimpangan dan konflik agraria sebab mempercepat dan mempermudah proses perampasan tanah.
7. Omnibus Law Ciptaker bisa dijadikan alat pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan untuk mengkriminalisasi rakyat.
UU Cipta Kerja secara jelas memasukkan larangan bagi petani dan masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar. Hal ini menunjukkan sikap anti petani kecil dengan budaya agrarisnya. Juga mengancam kedaulatan masyarakat adat dan kearifan lokal di atas wilayah adatnya.
8. Diskriminasi hak petani akibat klaim hutan negara.
UU ini memberikan keistimewaan untuk percepatan proyek strategis nasional (PSN), yang sebelumnya sering terhambat karena ketentuan minimal tutupan hutan 30%. Berbanding terbalik untuk kepentingan RA, dimana pemerintah selalu menggunakan dasar 30% tersebut. Petani dan masyarakat adat lagi-lagi hanya diberikan solusi penyelesaian konflik melalui izin akses perhutanan sosial.
9. Penghilangan hak konstitusional dan kedaulatan petani atas benih lokal.
UU Cipta Kerja melarang petani untuk memuliakan benihnya sendiri. Padahal MK telah memutuskan bahwa petani kecil berhak untuk memuliakan benihnya melalui Putusan MK No.138/PUU-XIII/2015.
10. Diskriminasi petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama, dan kebijakan kontraproduktif terhadap janji kedaulatan pangan.
UU Cipta Kerja merubah UU Pangan dengan cara menghapus frasa petani, nelayan dan pembudidaya ikan. Digantikan dengan frasa pelaku usaha pangan. Artinya, UU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh upaya penghormatan dan perlindungan petani dan nelayan. Orientasi bisnis pertanian skala besar ini rentan mendiskriminasi sentra-sentra produksi pertanian dan pangan dari petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama.
Dewi Kartika mengatakan sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat Undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu KPA akan mengkonsolidasikan komponen Gerakan Reforma Agraria untuk membatalkan UU Cipta Kerja demi keadilan sosial, keberlanjutan hidup dan penjagaan pusat-pusat produksi kaum petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, perempuan serta kaum tak bertanah di desa dan di kota.
“Sebab, sistem ekonomi-politik agraria yang ultraneoliberal dalam Undang-undang Cipta Kerja, dengan cara mendorong liberalisasi lebih luas sumber agraria dan sistem pasar tanah nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi kita,” katanya.