Tulisan ini mengembalikan ingatan kita terhadap gagasan landreform Mansour Fakih yang jauh sebelumnya telah diperjuangkan melalui penelitian-penelitian dan pendampingan juga melalui diskusi-diskusi mendalam. Adalah Lenin pada tahun 1870-1924, di Petrograd memerintahkan penghapusan hak milik perorangan atas tanah di Rusia.
Sebabnya, Lenin dipandang sebagai orang pertama yang mencetuskan gagasan Landreform atau “land to the tiller” untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita tekanan dari para landlord, khususnya di negara-negara blok Rusia.
Dalam banyak diskusi, kekuatan pendorong terjadinya proses landreform yang ideal sebagai bagian yang menyatu dalam politik agraria membutuhkan dua kekuatan besar, yaitu dorongan dari masyarakat atau petani dan dorongan dari kebijakan pemerintah.
Jika berangkat dari teori perubahan melalui gerakan kelas oleh Marx, maka landreform saat ini tidak hanya akan dilihat dari persfektif ini, tetapi juga akan diurai dari persfektif landreform yang dilakukan pada era pasca kepentingan liberalisme dalam persfektif ekonomi dan ekologi politik. Meskipun hari ini banyak landreform dilakukan untuk mencari dukungan politik kaum petani sebagai suatu tujuan politik.
Awalnya landreform bertujuan sebagai jalan untuk menghapuskan feodalisme dengan cara menyingkirkan kelas tuan-tuan tanah dan memindahkan kekuasaan pada elit pemenangnya. Tujuan lain landreform untuk menguasai kembali tanah yang telah dikuasai oleh tuan tanah asing bagi suatu bangsa.
Dalam konteks ini, maka landreform bertujuan melawan imperialisme dan penjajahan asing. Tujuan lain yang sering dilakukan juga adalah membebaskan petani dari penjajahan dan eksploitasi serta mengembalikan petani sebagai warga negara utuh dengan mengembalikan tanah yang telah dirampas dari mereka dalam keadaan miskin ataupun tekanan lain.
Landreform menjadi jalan untuk mengembalikan tanah bagi penggarap, dianggap sebagai cara menciptakan tatanan masyarakat tanpa eksploitasi, itulah yang dimaksud Marx sebagai masyarakat tanpa kelas, tanpa eksploitasi atau masyarakat yang demokratis.
Landreform di Indonesia
Pada era reformasi pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas (Shohibuddin, 2009).
Selanjutnya, tahun 2001, MPR kembali menghasilkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia.
Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria.
Selain itu, BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma agraria.
Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Landreform di Desa
Dalam banyak kasus hal yang seringkali menjadi sumber persoalan kebijakan teknis pembangunan kita karena akar epistemologi para pengambil kebijakan kita yang melihat semua masyarakat dan kebudayaannya memiliki struktur yang sama dan tetap. Cara pandang yang mengikat objek dan diberlakukan secara umum ini, sangat sulit diterapkan dalam negara dengan masyarakat yang begitu majemuk.
Sementara, dalam kehidupan di desa-desa saat ini keberagaman menjadi ciri yang mendasari dengan agama, karakter dan sumberdaya alam yang berbeda-beda disetiap wilayah. Inilah yang menjadi prinsip dasar Peraturan Desa terkait landreform ini dibentuk masing-masing desa dengan melibatkan seluruh unsur-unsur desa yang tentunya berkepentingan.
Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan dukungan masyarakat desa? Ini menjadi pertanyaan yang bisa mengantar kita pada langkah-langkah dan pilihan-pilhan yang tepat. Tentunya, langkah pertama kali adalah dengan menyebarluaskan tentang informasi gagasan landreform ini.
Barulah kemudian pilihan-pilihan caranya bisa kita pilih berdasarkan kebutuhannya, misalnya melakukan rapat-rapat terbuka atau musyawara desa, pertemuan terbatas, terfokus dan lain-lain.
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa
Sebagai program resmi negara, landreform mestinya mendapat dukungan yang lebih luas dari pemerintah terdekat yang posisinya lebih kuat yaitu pemerintah kabupaten dan aparatur desa itu sendiri yang bisa memiliki kekuatan hukum untuk melegalkan peraturan ini diterima dengan sadar oleh masyarakat desa.
Pemerintah Kabupaten diposisikan sebagai kekuatan yang membantu dalam meminimalkan hambatan-hambatan yang mungkin saja terjadi, baik hambatan yang sifatnya administratif juga hambatan kultural yang didalamnya tentunya terdapat beragam kepentingan.
Perdes landreform bagi setiap orang di kabupaten atau desa tentunya tidak semulus yang kita bayangkan, bahkan bisa menjadi ancaman bagi individu tertentu yang kepentingannya akan menjadi terusik atau mengancam sumber-sumber kehidupannya.
Namun, disinilah tantangan Perdes landreform bisa mampu menjadi peraturan yang tidak merugikan banyak pihak, dan sebaliknya dipahami sebagai sesuatu yang memberi manfaat baik secara ekonomi maupun secara ekologis bagi desa dan masyarakatnya secara keseluruhan.
Akhirnya, proses perubahan sikap politik masyarakat desa menjadi sangat penting dalam memandang Perdes Landreform sebagai sumber kekuatan kesejahteraan bagi setiap individu dan masyarakat desa tentunya.
*) penulis adalah mahasiswa program doktor Sosiologi pedesaan pada institut pertanian bogor (IPB)