Mediatani – Para ilmuwan Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan keragaman genetik hiu martil bergigi yang masih tinggi di Indonesia. Hasil penelitian yang mereka lakukan bahkan menunjukkan bahwa keragaman genetik itu masih lebih baik dibandingkan yang terdapat di bagian barat Samudera Hindia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Hawis Madduppa, dosen dan peneliti Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dari IPB. Ia menjelaskan bahwa keragaman genetik ini membuat struktur populasi hiu martil masih terjaga.
Penelitian tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan WCS (Wildlife Conservation Society) Indonesia. Penelitian ini menggunakan sampel yang diambil di beberapa daerah tempat para hiu martil di Indonesia.
Dilansir dari DetikEdu, lokasi yang menjadi tempat pengambilan sampel hiu ini, yakni di Aceh sebanyak 41 ekor, Balikpapan 30 ekor, dan Lombok 29 ekor. Sementara di kawasan Samudera Hindia, diambil 65 ekor dan Papua Barat 14 ekor.
“Sampel-sampel yang digunakan adalah hiu-hiu martil bergigi yang telah mati sesuai Peraturan Menteri KP No 5/PERMEN-KP/2018,” ungkap doktor bidang Biotechnology and Molecular Genetics dari University of Bremen, Jerman.
DNA yang diambil dari sampel tersebut kemudian diekstraksi di Laboratorium Biodiversitas dan Biosistematika IPB. Proses pengambilan DNA dilakukan dengan menerapkan protokol gSYNC DNA extraction kit product.
Selanjutya, para peneliti mengambil fragmen genetika yang terdapat dari DNA yang disebut gen mitokondria sitokrom oksidase sub-unit 1 atau disingkat CO1.
Hawis mengungkapkan terdapat lebih dari 179 sekuen DNA dari mitokondria CO1 yang memiliki panjang 594 bp dari sampel-sampel tersebut. Kemudian seluruhnya disunting menggunakan algoritma ClustalW.
“Dari situ terungkap pula adanya jaringan haplotype,” ujar Hawis.
Jaringan haplotype itulah yang juga dijadikan acuan oleh para peneliti dalam mengamati hubungan genetika antara hiu-hiu martil bergigi di Indonesia dengan di kawasan perairan di belahan dunia lainnya.
Dengan mengetahui distribusi haplotype di tiap-tiap lokasi, maka para peneliti juga akan mudah dalam mengungkap peredaran hiu-hiu tersebut serta hubungan genetika mereka di antara populasi yang ada di dunia.
Di perairan Aceh, jenis haplotype (H) yang dimiliki hiu martil bergigi yang paling banyak didapat adalah berjenis H1. Jenis haplotype ini mirip dengan jenis yang ditemukan di India, Madagaskar, dan Uni Emirat Arab (UAE).
Sedangkan untuk jenis H3 dan H4, banyak ditemukan di perairan Papua Barat dan Balikpapan-Lombok. Meskipun sebenarnya di Aceh juga banyak ditemui yang berjenis H3 dan H4.
Namun karena H1 merupakan jenis yang paling banyak ditemui, maka Aceh dikatakan sebagai kawasan perairan yang khas, karena diperairan tersebut banyak ditemui haplotype jenis H1 dibanding kawasan lainnya di dunia.
Setelah memperoleh data keragaman genetik dari haplotype, selanjutnya dilakukan pengolahan data struktur populasi. Langkah ini dilakukan dengan metode perbandingan antara populasi S. lewini di Indonesia dengan yang terdapat di bagian barat Samudera Hindia.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui adanya homogenitas atau kesamaan antara hiu martil bergigi di Balikpapan dan Lombok. Hal ini sesuai dengan studi yang sebelumnya pernah dilakukan di perairan Indo-Australia, dimana homogenitas di Balikpapan dan Lombok, sama dengan yang ada di utara perairan Australia.
Di Papua Barat juga menunjukkan adanya homogenitas, namun Balikpapan masih menunjukkan angka keragaman haplotype 0,646 atau di atas rata-rata keragaman dengan yang ada di bagian barat Samudera Hindia yang hanya maksimal 0,467.
Sedangkan, homogenitas Papua Barat dan Lombok diketahui sangat rendah yakni masing-masing 0,143 dan 0,362. Sehingga diketahui bahwa kawasan perairan tersebut merupakan zona migrasi hiu martil bergigi. Selain itu, kawasan pesisir di sekitarnya juga diperkirakan menjadi tempat berkembang biak.
Dengan adanya informasi tentang struktur populasi hiu martil ini, maka dimiliki data yang dapat digunakan untuk sosialisasi mengenai penanganan mereka serta menentukan status konservasinya.
“Melihat hasil penelitian keragaman genetiknya tinggi dan adanya indikasi struktur genetik, maka implikasinya pengelolaannya harus secara terpisah per wilayah,” ujar Hawis.
Pada 1999, kondisi spesies hiu martil dinyatakan berstatus terancam akibat aktivitas penangkapan yang berlebihan. Namun, pada 2009, lembaga konservasi dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) memasukkan spesies ini ke dalam salah satu dari Daftar Merah Terancam (EN).
“Hiu jenis ini merupakan salah satu dari hiu-hiu yang terancam punah lantaran perburuan siripnya. Sekitar tiga juta ekor hiu di seluruh dunia, setiap tahunnya dibunuh demi perdagangan sirip hiu,” kata pengajar IPB, Hawis.
Lima tahun kemudian, Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) memasukkan hiu martil ini ke dalam daftar hewan status Appendix II. Hingga akhirnya pada 2019 lalu, statusnya meningkat menjadi Sangat Terancam (CR).
“Eksploitasi yang tinggi terhadap hiu martil bergigi berakibat pada struktur populasinya. Kesuburan mereka terganggu sehingga keragaman genetik mereka juga ikut berkurang,” ujar Hawis.