Mediatani – Risiko dari mikroplastik semakin parah akibat meningkatnya sampah plastik yang berasal dari alat pelindung diri (APD) yang banyak digunakan selama masa pandemi. Hal tersebut mengancam terjadinya kerusakan lingkungan, kehidupan biota laut serta kesehatan tubuh manusia.
Limbah medis berupa mikroplastik tersebut mudah dikonsumsi oleh biota laut, seperti kerang, tiram, dan ikan kecil sehingga berisiko mengganggu kesehatan manusia yang selama ini juga banyak mengonsumsinya.
Manusia yang mengonsumsi biota laut yang menyerap mikroplastik ini dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, antara lain gangguan aktivitas hormon, sistem kekebalan tubuh, kesuburan, bahkan dapat memicu penyakit kanker.
Berdasarkan hasil riset, mikroplastik telah banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, antara lain di Teluk Jakarta, Teluk Benoa (Bali), Pantai Utara dan Pantai Timur Surabaya, Selat Madura, dan Perairan Musi (Palembang).
Dilansir dari Sindo News, Jumat (12/3), Muhammad Reza Cordova, peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan dua publikasi yang dilakukan pihaknya menunjukkan mikroplastik ditemukan pada sedimen mangrove di Muara Angke, dan pada ikan Kepala Timah di Sungai Ciliwung dan sungai di Jakarta Utara.
“Jadi, di pesisir Jakarta memang sudah terdeteksi ada mikroplastik,” ujar Reza .
Untuk diketahui, mikroplastik merupakan menjadi partikel plastik yang diameternya kurang dari 5 milimeter sampai 330 mikron (0,33 mm). Bahkan, ada partikel plastik berukuran lebih kecil lagi yang disebut nanoplastik.
Semakin kecil ukuran mikroplastik yang semakin kecil akan lebih mudah diserap tubuh sehingga potensi kerusakan jaringan yang dipicu juga besar.
Pada Oktober lalu, Lembaga Ilmu Pengetahun Nasional Australia menyatakan, saat ini di dasar laut dunia sudah terdapat sekitar 14 juta ton mikroplastik yang berasal dari seluruh sampah yang memasuki lautan setiap tahunnya.
Sementara itu, sebuah riset menyatakan bahwa Indonesia termasuk sebagai negara kedua terbesar yang menghasilkan sampah plastik ke laut setelah China dengan jumlah sampah mencapai 1,29 juta ton per tahun.
Pandemi yang melanda telah meningkatkan potensi ancaman mikroplastik akibat limbah APD yang ikut dibuang ke lingkungan. Dalam setahun terakhir, masker, sarung tangan, baju hazmat, face shield dan jas hujan banyak ditemukan sungai yang mengalir ke laut.
Material plastik dari APD tersebut hanyut bersama berbagai jenis sampah plastik lainnya seperti botol minuman, kantong kresek, kemasan makanan, dan styrofoam.
Reza menjelaskan, riset yang dilakukan pada Maret-April 2020di muara Sungai Cilincing dan Sungai Marunda yang mengarah ke Teluk Jakata, menunjukkan bahwa plastik dari APD menyumbang 16% dari keseluruhan sampah plastik yang ada.
Sampah APD tersebut terdiri atas 780 item atau seberat 0,13 ton per harinya. Plastik yang mendominasi sampah di muara sungai yakni sebanyak 46-57% dari total sampah yang ada. Jumlah tersebut meningkat 5% dibanding survei sebelumnya pada 2016.
Kendati demikian, berat sampah tersebut justru menurun sebesar 28%. Artinya, sampah yang bertambah itu umumnya berbahan plastik yang memang relatif lebih ringan.
“Sangat mungkin mikroplastik di laut akan lebih tinggi di masa mendatang karena saat ini banyak sampah plastik dari APD yang masuk ke lingkungan. Padahal, riset kami pada 2015 dan 2016, sampah APD ini belum kami temukan,” ujarnya.
Diperkirakan, salah satu penyumbang tertinggi mikroplastik dari sampah APD itu adalah masker. Sebab, masker biasanya berbahan dasar polypropylene yang cenderung lebih cepat rapuh dibandingkan jenis plastik lain.
Setelah setahun pandemi melanda di Indonesia, belum ada lagi riset terkait bertambah atau menurun jumlah sampah APD yang mengalir ke laut. Namun, Reza mengaku, berdasarkan pengamatan visual yang dilakukan pada Januari 2021, masih sering ditemukan sampah APD yang tersangkut di jaring sampah milik Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.