Mitos Atau Fakta, Makan Nasi Sisa Semalam Jauh Lebih Baik?

  • Bagikan
ilustrasi, nasi kemarin (foto: blogspot.com)

Mediatani – Nasi adalah makanan pokok penduduk Indonesia. Si biji-bijian yang bertekstur lengket dan pulen ini memiliki bermacam-macam warna, yaitu nasi putih, nasi merah, nasi coklat, dan nasi hitam. Sebagian besar orang mengonsumsi nasi putih dan banyak yang diolah menjadi berbagai hidangan, seperti nasi goreng, lemper, dan bubur ayam. Di negara lain juga banyak olahan nasi, seperti onigiri dan sushi (Jepang), risotto (Italia), paella (Spanyol), biryani (India), dan loco moco (Hawaii).

Di Indonesia, nasi masih menjadi primadona pangan wajib setiap saat. Tidak disebut sudah makan kalau belum makan nasi. Apalagi nasi yang masih panas disajikan dengan berbagai lauk banyak ditawarkan menjadi menu di rumah makan.

Ada kenikmatan saat memakan nasi yang masih panas-panasnya. Tak jarang pula nasi yang tidak habis dan terlanjur kering serta basi akan dibuang. Nasi yang sudah ditanak biasanya dapat bertahan hingga dua hari dalam penghangat nasi, sebelum berubah warna dan baunya.

Lalu, apakah ada manfaat dari mengkonsumsi nasi yang dimasak dari kemarin?

Mengutip dari National Geographic Indonesia, memakan nasi yang baru saja matang akan membuat tubuh kita mencerna glukosa, karena pati langsung diubah menjadi gula atau glukosa.

Apabila sehabis makan kita tidak melakukan pembakaran kalori seperti beraktivitas olahraga, maka glukosa tersebut akan disimpan sebagai lemak dalam tubuh. Jika ini menjadi kebiasaan, maka obesitas dan penyakit lain bisa saja terjadi.

Sebaliknya, nasi yang disimpan sejak kemarin atau sebutannya nasi semalam mengandung kalori 60% lebih sedikit dari nasi yang baru matang. Pati berubah menjadi lebih resisten sehingga tidak bisa dicerna oleh tubuh.

Maka dari itu, mengkonsumsi nasi semalam berpeluang rendah untuk meningkatkan kalori sehingga cocok untuk orang yang sedang menjalankan program diet maupun yang ingin hidup sehat.

Namun sebaiknya nasi sisa semalam ini tidak dipanaskan kembali. Selain dapat meningkatkan indeks glikemik, karena terdapat bakteri Bacillus cereus yang dapat bertahan selama proses pemasakan.

Indeks glikemik dalam nasi bisa bertambah karena pemasakan yang lama dan bertekstur lengket, menurut penelitian Prof Edith Feskens di Wageningen University dan nasi yang terlalu pulen ternyata juga mengandung indeks glikemik (IG) lebih tinggi dibandingkan nasi pera.

Indeks glikemik erat kaitannya dengan metabolisme karbohidrat dalam tubuh kita. Indeks glikemik pangan adalah sebuah tingkatan berdasarkan efeknya dalam meningkatan gula darah. Ada hubungan linear antara IG dengan kadar gula darah dimana semakin tinggi indeks glikemik yang dikonsumsi, maka kadar gula darah akan meningkat dengan cepat.

Menurut Litbang Pertanian, pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar gula darah dan respons insulin dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan.

Informasi IG bermanfaat bagi semua individu juga dapat membantu penderita diabetes mellitus dalam memilih makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis, sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.

Pangan IG rendah membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan, dan kadar gula darah. Jadi, pangan dengan IG rendah dapat membantu mengurangi kelebihan berat badan.

Selain nasi sisa semalam, ada beberapa pangan pengganti nasi dengan indeks glikemik rendah yang bisa Anda konsumsi untuk menjaga kadar gula darah tetap stabil.

Diantaranya adalah jagung, kentang tumbuk (mashed potato), singkong, sukun (Artocarpus altilis) yang mengandung 134 kkal energi, potasium, protein, asam amino, dan karbohidrat bebas gluten/100 gram yang cocok untuk penderita diabetes, talas yang juga mengandung amilopektrin mudah dicerna serta kalium untuk kesehatan jantung, dan ubi yang mengandung energi 100 kkal dan 1,8 gram protein setiap 100 gramnya.

Adapun beras hitam dan beras analog yang berbahan baku singkong dan umbi lain juga diketahui berkadar indeks glikemik rendah.

(Nurul Iswari)

  • Bagikan