Pandemi Covid Ancam Perdagangan Ekspor Sapi Australia ke Indonesia

  • Bagikan

Mediatani – Negara tetangga Australia tengah mengkhawatirkan industri ekspor ternak hidup dikarenakan lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia ini.

Dewan Eksportir Ternak Australia (ALEC) mengungkapkan bahwa situasi pandemi di Indonesia menjadi kondisi kritis yang melanda bisnis pastoral di Australia Utara.

Namun begitu, Kepala Eksekutif ALEC Mark Harvey-Sutton menuturkan bahwa perhatian utama tertuju pada kesehatan dan keselamatan rekan-rekannya di Indonesia.

“Pikiran dan doa kami tulus bersama Indonesia saat ini,” kata Harvey-Sutton, dikutip dari situs jpnn.com, yang juga melansir dari ABC News, Kamis (22/7).

Di samping itu, satu di antara bisnis penggembalaan terbesar di Australia yaitu Consolidated Pastoral Company (CPC) memiliki dua tempat penggemukan sapi di Lampung dan Medan dengan kapasitas gabungan sekitar 27.000 ekor sapi.

Kepala eksekutif CPC Troy Setter mengatakan bahwa pihaknya telah memvaksinasi hampir seluruh stafnya dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Akan tetapi situasinya tetap mengkhawatirkan.

“Kita tentu saja melihat peningkatan tekanan pada bisnis kami, tim, dan pelanggan kami karena jenis virus corona baru yang lebih ganas ini,” ungkap Setter.

Pihaknya mengaku mengalami peningkatan jumlah staf yang sakit dan harus kehilangan beberapa anggota stafnya akibat Covid-19 ini.

Sementara itu, di berita yang lain, harga pakan unggas dalam beberapa waktu terakhir menyentuh Rp8.000 per kilogram (kg), bahkan lebih.

Bahan baku pakan ternak yakni jagung nyatanya disebut sudah naik sejak awal tahun ini.

Diketahui, kenaikan harga pakan ternak dipicu oleh meningkatnya harga bahan baku yang digunakan untuk produksi. Baik bahan baku yang selama ini berasal dari impor maupun bahan baku lokal, yakni jagung.

“Komoditas jagung menjadi salah satu komponen utama pakan yang sudah mengalami kenaikan harga sejak awal tahun ini,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Oke Nurwan, di sela-sela webinar Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi, Kamis, (22/7, mengutip dari republika.co.id.

Berdasarkan data Kementerian Pertaian, harga pembelian jagung di tingkat pabrik pakan selama Juni 2021 sebesar Rp5.700 per kg. Harga itu, naik 43,9 persen jika dibanding Juni 2020.

Pun, lebih tinggi 27 persen dari harga acuan pemerintah dalam Permendag Nomor 7 Tahun 2020.

Selain harga pakan, Oke menuturkan, kondisi harga bibit ayam atau day old chicken (DOC) yang masih tinggi juga mempengaruhi kenaikan biaya produksi unggas.

Sedangkan, pada pekan ketiga Juli ini, harga DOC mulai turun 20 persen dibandingkan bulan sebelumnya, menjadi sekitar Rp5.225 per kg. Namun, harga itu juga masih 4,5 persen di atas harga batas bawah penjualan.

Oke membeberkan, industri perunggasan memiliki peran penting bagi pemenuhan protein hewani masyarakat. “Karena itu, pemerintah harus melakukan intervensi ketika terjadi masalah kenaikan harga produksi,” ucapnya.

Dari catatan Kemendag, kontribusi daging ayam pada ketersediaan protein sebesar 3,48 gram per kapita per hari. Itu setara dengan 57,2 persen dari penyediaan protein komoditas daging.

Pakar Pertanian IPB, Muladno, menambahkan, persoalan jagung yang mahal ini adalah dampak dari ketersediaan dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna.

Di sisi lain, pula karena dilakukannya penutupan impor jagung sejak tahun 2016 lalu.

Menurutnya, isu harga pakan yang mahal merupakan hal yang terus berulang tapi tidak jelas solusinya. Sementara, data pemerintah yang tidak akurat membingungkan pelaku usaha.

“Jagung sebagai makanan pokok ayam broiler masih terus dirundung masalah yang makin menggunung,” tutupnya. (*)

  • Bagikan