Mediatani – Dari tahun ke tahun, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia pada sektor pertanian terus mengalami peningkatan. Masalahnya adalah, peningkatan tersebut tidak berbanding lurus dengan peningkatan hasil panen produk pertanian, bahkan karena pengaruh dari pupuk kimia tersebut sehingga tanah menjadi tidak subur. Hal ini berarti agar bisa mendapatkan hasil panen yang sebanding, para petani harus cerdas dalam penggunaan pupuk kimia.
Meskipun belum ada pasal khusus yang menganjurkan agar para petani secara bertahap beralih ke pertanian organik atau praktik pertanian berkelanjutan dengan penggunaan pupuk kompos, tetapi pemerintah berharap agar para petani bisa beralih ke pupuk anorganik tidak bersubsidi.
Penggunaan pupuk kimia yang tidak bersubsidi sangat membebani para petani terutama yang memiliki kemampuan finansial dibawah rata-rata. Tidak hanya itu, secara keseluruhan, para petani saat ini hanya bekerja sebagai penggarap lahan dalam artian lain mereka harus berbagi hasil panen pertanian kepada pemilik lahan. Sehingga, mata pencaharian mereka bisa terancam bila harus terbebani dengan biaya operasional lewat pupuk yang tidak bersubsidi. Terlebih lagi jika hasil panen tetap sama terhadap musim sebelumnya.
Ironisnya lagi, meski terjadi peningkatan biaya operasional di hulu, para petani tidak mempunyai kuasa untuk mengendalikan harga komoditas pertanian di hilir. Tanpa adanya penyesuaian harga di dalam rantai pasok tersebut, penggunaan pupuk tidak bersubsidi hanya akan merugikan petani. Salah satu upaya dalam mengatasi masalah tersebut yakni dengan kembali menerapkan praktik pertanian organik. Dimana dalam pengolahan lahannya dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam.
Berdasarkan data terakhir dari Badan Pusat Statsitik (BPS) pada tahun 2020, tercatat bahwa populasi sapi potong sekitar 17,5 juta ekor di Indonesia yang berpotensi menghasilkan 175 ribu ton kotoran segar per hari. Jika dihitung secara kasar, jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan ideal 17,5 ribu hektar (Ha) lahan setiap hari atau hampir 6,4 juta hektar per tahun. Di sisi lain, BPS melaporkan ada sekitar 10,7 juta hektar sawah pada 2019 dan dengan demikian populasi sapi ini mampu menyediakan hingga 60% pupuk organik dalam bentuk kompos.
Meskipun perhitungan kasar sangat potensial, tetapi tidak mudah menerapkan hal tersebut terlebih lagi kondisi di lapangan tidak mendukung. Salah satu kendalanya adalah tingkat produktivitas yang rendah pada penggunaan langsung pupuk kompos akibat kondisi tanah yang jenuh pupuk anorganik. Kondisi ini mampu diatasi lewat sistem pemrosesan yang menerapkan proses pencernaan anaerobik sebagai pengganti kompos konvensional.
Memang benar, dengan menggunakan pupuk alami seperti kotoran ternak atau kompos pastilah membutuhkan volume yang tidak sedikit, tetapi sebagai gantinya, tanah menjadi subur serta kualitas dan kuantitas hasil produksi secara bertahap akan mengalami peningkatan. Selain itu, hasil produk pertanian juga lebih sehat (lebih sedikit pupuk kimia berarti lebih sedikit residu kimiawi di pertanian).
Adanya pembatasan alokasi pupuk bersubsidi ini seperti dua sisi mata uang yang sama, baik karena bisa mempromosikan praktik pertanian berkelanjutan dan membiarkan pupuk kimia agar lebih merusak kesuburan tanah terutama di Indonesia. Peluangnya terbuka lebar, mengingat populasi ternak yang besar dan teknologinya yang sudah terbukti baik secara ilmiah maupun praktis.
Yang terpenting saat ini yaitu adanya kemauan satu sama lain untuk bekerja sama. Para petani yang masih membutuhkan pendidikan untuk mengubah paradigma mereka terhadap pupuk kimia. Kerja sama yang baik harus dilakukan antara pemerintah, LSM maupun swasta agar tidak melewatkan kesempatan untuk kebaikan ini sebelum terlambat.