Pemerintah Permudah Impor Gula untuk Industri, Petani Tebu Khawatir Bocor ke Pasaran  

  • Bagikan
Ilustrasi: Gula produksi petani lokal.

Mediatani – Pemerintah berencana memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk mengimpor gula dan garam secara langsung untuk kebutuhan industri dalam negeri. Sehingga industry makanan dan minuman  tidak perlu lagi melakukan impor melalui importir yang terdaftar.

Meski demikian, pengusaha tetap harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Perindusrian. Kebijakan ini disampaikan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam diskusi Jakarta Food Security Summit 5 yang dilakukan secara virtual, Kamis (19/11/2020).

“Para pemain dari industri gula yang memang dibutuhkan untuk perusahaannya, maupun garam industri, langsung impor saja. Kenapa harus ada birokrasi tambahan?” kata Erick dilansir dari Tirto.

Saat ini, pemerintah memang mengizinkan pihak swasta untuk melakukan impor gula, tetapi hanya gula mentah dan rafinasi untuk keperluan industri dan pemurnian. Hal itu dilakukan karena produksi gula lokal masih jauh lebih kecil dari kebutuhan nasional.

Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, produksi gula nasional baru mencapai 2,2 juta ton per tahun. Sedangkan kebutuhan gula konsumsi per tahun mencapai 2,8 juta ton dan gula industri 3,62 juta ton. Dengan kata lain, pemerintah harus mengimpor lebih dari 4 juta ton untuk mencapai kebutuhan.

Kebijakan pemerintah itu lantas menimbulkan kekhawatiran petani tebu lokal.  Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menjelaskan, dengan jumlah importir gula yang saat ini hanya 11 saja pemerintah belum mampu mengantisipasi rembesan gula rafinasi.

Ia mengkhawatirkan, ketika peluang impor menjadi lebih besar, menurutnya kemungkinan akan semakin lebih banyak lagi gula impor yang bocor ke pasar konsumsi di pasar tradisional. Dampaknya, suplai gula petani lokal semakin banyak pesaing dan mungkin jadi tidak laku. Apalagi gula impor harganya lebih terjangkau dengan kualitas lebih bagus.

“Kami ini sudah dipaksa jual gula dengan harga yang murah. Untuk diketahui, harga pokok yang dijual untuk petani itu sudah ditetapkan Rp9.100 di tahun 2016. Sampai 2020 enggak naik. Harganya sudah tidak menguntungkan,” katanya.

Soemitro mengatakan, dari pada membuat kebijakan yang berpotensi menimbulkan masalah, pemerintah sebaiknya mengatasi rantai distribusi yang semakin panjang saja. Menurutnya, rantai distribusi yang semakin panjang membuat harga gula di pasaran yang kian mahal.

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang menanggapi kekhawatiran petani itu mengatakan akan dengan tegas mencabut izin impor bagi perusahaan atau pengusaha yang melanggar aturan yang dibuat pemerintah.

“kalau dia (pengusaha) melanggar atau membocorkan ke market, membuat garam rakyat turun, ya, izinnya dicabut.” terang Luhut.

Bukan hanya petani yang tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah tersebut, pengusaha dan juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Industri Pengolahan Makanan dan Peternakan Juan Permata Adoe juga mengatakan bahwa kebijakan impor langsung ke pelaku industri yang menggunakannya bukanlah langkah yang bijak.

Menurutnya, tak semua perusahaan memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk melakukan impor. Kalau memang masalahnya karena pengurusan tambahan dari importir yang berbelit, maka menurutnya alangkah lebih baik kalau pelaku usaha industri ini diberikan akses ke petani tebu atau pabrik gula lokal.

“Alangkah indah pemerintah memberikan peluang untuk memberikan investasi swasta bekerja sama dengan lahan perkebunan rakyat yang selama ini sudah ada, atau selama ini sudah dikontrol oleh BUMN,” katanya.

Selain itu, ia juga menolak kebijakan ini karena menganggap para pelaku industri mungkin juga tak tertarik karena hanya akan mendapakan pekerjaan tambahan, yaitu mencari sumber pasokan impor dari luar negeri.

“Daripada jadi importir mending kerja sama dengan yang sudah ada,” ungkapnya.

  • Bagikan