Pencuri Ikan Masih Sering Masuk ke Laut Natuna Utara dan Selat Malaka

  • Bagikan
Kapal asing di perairan Indonesia

Mediatani – Pada 29 Maret lalu, dua kapal ikan asing ilegal berbendera Vietnam ditemukan sedang mencuri ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 Laut Natuna Utara. Kedua kapal tersebut langsung diamankan oleh Kapal Pengawas Perikanan Orca 03 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Atas kejadian tersebut, KKP menilai Laut Natuna Utara dan Selat Malaka masih menjadi wilayah yang rawan dengan aksi pencurian ikan. Hal tersebut diungkapkan oleh Antam Novambar, Sekretaris Jenderal KP sekaligus Plt. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Namun, pihaknya tetap memastikan penegakan hukum akan terus berjalan.

“Kami memastikan proses hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” ungkapnya dilansir dari Mongabay, Senin (5/3/21).

Kapal asing tersebut menggunakan alat tangkap ikan pair trawl. Kapal dengan nomor lambung KG 9307 TS dan KNF 7727 ini dibawa ke Pangkalan PSDKP Kota Batam beserta dengan 21 anak buah kapal (ABK) yang berasal dari Vietnam.

Kapal Pengawas Perikanan yang dinahkodai Kapten Mohammad Ma’ruf ini mengamankan sejumlah barang bukti saat melakukan penangkapan. Barang bukti tersebut berupa kapal, alat tangkap, peralatan navigasi, peralatan komunikasi serta ikan hasil tangkapan.

Direktur Pemantauan dan Operasi Armada, Pung Nugroho Saksono menyampaikan bahwa kapal asing tersebut menggunakan alat tangkap pair trawl yang dioperasikan dengan cara ditarik oleh dua kapal hingga dapat menimbulkan efek kerusakan yang besar.

Menurutnya, penangkapan tersebut merupakan upaya KKP dalam melindungi sumber daya perikanan dan lingkungan perairan di Laut Natuna Utara.

“Alat tangkap ini selektivitasnya rendah, sapuan lebar, jadi ikan-ikan besar dan kecil akan tertangkap semua.”

Kapten kapal menceritakan bahwa dia baru tujuh hari berlayar namun telah tertangkap petugas patroli Indonesia. Namun, ia mengaku tidak merasa telah mencuri di laut Indonesia. Menurutnya, ia dan 20 ABK lainnya tidak berada di perairan Indonesia.

“Kami masih berada di perairan Malaysia,” katanya dalam bahasa Vietnam.

Kasus nelayan China

Pada 19 Maret 2021 sebelumnya, kapal asing Tiongkok juga ditemukan saat sedang melaut di laut Natuna Utara. Bahkan, kapal ikan itu tampak dikawal oleh tiga kapal patroli China dengan nomor 171. Kapal asing tersebut berada di laut Indonesia, pada koordinat 05 13.787’N 110 05.038’E.

“Memang, bulan lalu ada coast guard China, mungkin satu arah mengawal (nelayan China) ke laut Natuna Utara,” terang Antam.

Namun, saat itu sudah ada TNI Angkatan Laut dan PSDKP yang telah menjalin komunikasi dengan pihak China sehingga tidak terjadi gesekan apapun.

“Mereka (kapal China) mundur. Hasil komunikasi PSDKP dan TNI itu mereka (kapal ikan asing China) tidak jadi mengambil ikan di laut Natuna Utara,” ungkapnya.

Antam mengungkapkan bahwa KKP telah berhasil menangkap dan memproses hukum sebanyak 67 kapal ikan yang melaut di Natuna selama triwulan pertama (Januari – Maret) 2021 ini. Sejumlah kapal itu terdiri dari tujuh kapal ikan asing dan 60 kapal nelayan lokal Indonesia.

Adapun tujuh kapal asing yang diamankan itu terdiri dari lima kapal berbendera Malaysia ditangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 571 Selat Malaka, dan dua kapal ikan berbendera Vietnam yang ditangkap di WPPNRI 711 Laut Natuna Utara.

Sementara 60 kapal ikan berbendera Indonesia itu ditangkap KKP di berbagai perairan di Indonesia karena diketahui melakukan pelanggaran daerah penangkapan ikan ada juga karena tidak memiliki perizinan sesuai dengan ketentuan.

”Kami tertibkan agar tidak terjadi penangkapan berlebih (overfishing),” jelas Pung Nugroho Saksono, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada KKP dalam penjelasannya.

Ipunk juga menjelaskan bahwa kapal ikan berbendera Indonesia iu ditertibkan untuk mencegah terjadinya konflik horizontal antar nelayan. Hal ini juga merupakan langkah preventif untuk mencegah konflik yang lebih besar.

“Kalau tidak ditertibkan, ada potensi peningkatan konflik dengan nelayan setempat,” ujar Ipunk.

  • Bagikan